Renjun berlarian di koridor kampus dengan tergesa. Nafasnya tersengal-sengal dibarengi keringat yang mulai mengalir di pelipisnya. Detak jantungnya ikut berpacu seiring langkah kakinya yang semakin cepat. Suara petikan gitar mulai terdengar masuk ke telinganya. Ia berhenti, sambil mengatur nafasnya, matanya menatap lurus ke depan.
Di sana, Lee Jeno. Kakak tingkatnya yang setiap hari Rabu selalu memainkan gitar kesayangannya di gazebo fakultas. Dan Renjun selalu berusaha untuk tidak pernah absen untuk melihat pertunjukkan kecil itu. Baginya, suara petikan gitar yang dipetik oleh jari-jari kurus kakak tingkatnya itu membawa kedamaian tersendiri bagi Renjun.
Renjun masih terdiam di posisinya. Tidak sadar kalau petikan gitar itu telah berhenti bersuara. Dan Lee Jeno, melihat sosok penggemar setianya itu dengan senyuman geli. “Huang Renjun.” Yang di panggil sedikit tersentak. Baru sadar kalau sedari tadi ia hanya berdiri melamun seperti orang bodoh.
“O–oh, iya kak.” Kekehan rendah keluar dari mulut Jeno. “Kamu ngapain bengong di situ. Ayo sini.” Jeno menepuk tempat di sebelahnya. Menggeser tas dan beberapa buku sedikit ke belakang, memberi tempat untuk adik tingkatnya yang mengemaskan itu untuk duduk di sampingnya.
“Udah selesai kelasnya, njun?”
“Udah kak. Kan injun sekarang ada disini.” Nada suaranya terdengar lemah, sepertinya sisa-sisa lelah karena berlari dari kelas tadi masih berasa. “Capek ya?”
“Mangkanya nggak usah lari-larian, kakak tungguin kok.” Jeno berucap dengan lembut, sambil tangan kanannya di bawa merapikan helai rambut Renjun yang berantakan. “Hehe, iya kak. Lagian injun juga udah nggak sabar mau denger kak Jeno main gitarnya.”
“Bagus banget emang kakak mainnya, njun?”
“Biasa aja sih, tapi nggak tau deh, kenapa injun bisa suka ya?” Diakhiri dengan cengiran lucu dari Renjun untuk Jeno. Rambutnya di usap sayang, bibirnya masih tidak lelah menciptakan senyum, “Ih, gemes banget.”
Seperti itulah, interaksi manis yang di lakukan dua orang dengan status kakak dan adik tingkat, setiap hari Rabu di gazebo fakultas ekonomi. Tanpa memperdulikan orang lain yang mungkin ikut memperhatikan mereka.
Afeksi yang di berikan Jeno kepada Renjun, bagaikan desiran angin yang bisa membuat otot-otot tubuhnya melemas. Tapi nyaman. Seperti tak terpikirkan hal lain lagi selain keinginan yang besar untuk ia bisa rasakan setiap saat. Kadang saking nyamannya, air matanya seakan memohon untuk ia bisa di bebaskan. Sebagai bentuk betapa Lee Jeno amat sangat berpengaruh terhadap kehidupannya saat ini. Saat ini
“Injun, besok kakak mau tampil lho. Injun harus nonton, yaa.”
“Dimana?”
“Restoran seberang kampus situ, deket perempatan.”
“Di restoran? Kok tumben kak?”
“Hehe, ada yang nikahan. Trus kakak di mintain tolong buat ngisi lagu. Yang punya restoran kan alumni kampus ini.”
“Wihh, keren juga koneksi kakak ya. Emang nggak papa injun dateng. Kan bukan tamu.”
“Injun tamu tau.”
“Kan nggak kenal yang punya acara kak.”
“Injun kenal kakak.”
“Hah?”
“Yang nikahan sepupunya kakak.”
“Hihh!!” Dan tangan-tangan kecil Renjun yang terkepal dengan lihai menghujani badan Jeno tanpa ampun. Pukulan-pukulan itu tak sendirian berlari, tawa dari dua bibir yang berbeda tuan itu ikut mengiringi langkah tangannya. Di pegang nya tangan yang lebih kecil itu oleh tangan lain yang lebih besar, “Hahaha, udah dong njun. Sakit tau, tangan kamu kan walau kecil gini tenaganya udah kaya Samson.”
“Kak Jeno ngerjain injun mulu.”
“Kamu lucu soalnya kalo marah, hahaha.”
Dan bibir mengerucut lucu milik si kecil Rejun tak akan pernah bosan Jeno lihat. Sama halnya dengan senyuman yang kelewat manis dari bibir si lucu, seperti jadi candu yang ingin Jeno lihat setiap saat. Manis sekali. Rasanya ia ingin memiliki senyum itu untuknya seorang. Terdengar egois, tapi tak bisa ia tolak.
Haruskah ia katakan sekarang?
“Renjun.”
“Iya kak.” Jeno pegang kedua tangan yang lebih kecil itu dengan tangannya, menggantikan posisi gitar yang sempat ada di pelukannya. Dia remas pelan dan di beri usapan lembut sebagai penenang. Bagi nya dan mungkin bagi Renjun pula.
“Kak Jeno suka sama Renjun, kalo Renjun berkenaan, mau nggak jadi pacar kakak?” Kalimat yang keluar dari bibir tipis Jeno berhasil mengejutkan pemilik tangan yang ada di genggamannya. Pupil mata Renjun melebar, mulutnya sedikit terbuka, dan tangannya mulai dingin.
Ini pasti mimpi
Jeno masih dengan tenang menatapnya. Menunggu jawaban apa kiranya yang akan ia terima. “Kakak bercanda nih pasti.” Apa itu jawabannya? Kalimat dengan nada sedikit menyelidik itu tidak menggoyahkan tekad Jeno. “Kok gitu, kakak serius tau.” Suaranya dibuat sedikit merajuk, supaya yang mendengar bisa agak tergetar hatinya.
“Kok bisa?”
“Apanya injun?”
“Kakak suka injun?”
“Karena kamu injun makanya kakak suka.”
Renjun harus jawab apa sekarang. Apakah kata saat ini yang tadi sempat ia gaungkan di angannya, bisa ia ubah menjadi selamanya?
Bolehkah