...
“Jaem, udah pada kumpul semua belum. 5 menit lagi kita berangkat” “Udah bang, udah pada masuk bus malah. Pada kepanasan katanya”
Mark dan Jaemin, selaku ketua dan wakil dari organisasi konseling tingkat fakultas itu sedang menyiapkan anak-anak untuk bersiap pergi berlibur sebentar.
Ya, kegiatan kali ini sebenarnya tidak masuk ke dalam proker mereka. Hanya acara sederhana untuk mengeratkan tali persaudaraan antar pengurus dan anggota organisasi tersebut. Acara sederhana, karena memang hanya kegiatan menginap 2 hari 1 malam di vila yang mereka sewa secara patungan dengan tambahan uang kas.
“Temen-temen sama adik-adik, dengerin aku dulu ya. Jadi ini nanti perjalanannya sekitar hampir tiga jam, jadi kalo ada dari kalian yang ngerasa ngk enak badan atau perlu sesuatu bilang ke temennya atau ke kakak pengurus ya. Eh Hery jangan semprot semprot parfum!!”
Setelah selesai memberi sedikit arahan di depan tadi, Renjun kembali ke kursinya dan langsung di hadiahi senyuman lima jari dari teman sebangkunya. “Ngapain Jaem senyum-senyum, kek orang gila.” Renjun benarkan posisi duduknya, lalu menengok temannya yang sekarang malah cekikikan.
“Gapapa. Eh ga tau sih, cuma kenapa ya, liat muka kamu kalo lagi emosi gitu mesti lucu. Jangan galak-galak, ntar adek tingkat pada takut.” Renjun yang dengar itu lalu memiringkan tubuhnya, dahinya tampak berkerut, “Emang muka aku segalak itu Jaem?” bukan jawaban yang Renjun terima, tapi malah tawa Jaemin yang menggema di dalam bus bercampur ramai suara dari manusia lain penghuni bus mereka.
Rombongan yang berjumlah 34 orang itu telah sampai di tempat tujuan dengan aman dan selamat. Setiap insan mulai di sibukkan dengan kegiatan mereka masing-masing. Menit berganti jam, orang-orang mulai mempersilahkan tubuh mereka untuk beristirahat. Tak terkecuali Jaemin dan Renjun. Keduanya tidur bersebelahan, dengan alas tikar karena rupanya ada salah komunikasi antara korlap dan pemilik vila. Kamar nya ternyata tidak cukup. Dan disinilah mereka sekarang, 8 pengurus dan anggota laki-laki merelakan tubuhnya bercumbu dengan lantai dingin yang cuma terhalang tikar tipis.
Jaemin miringkan badannya ke kiri, tangan kirinya ia pakai sebagai alas kepala. Pemandangan di depannya membuat kantuk yang tadi menyerang mulai hilang.
‘Cantiknya’
Huang Renjun, teman se-organisasinya yang walau laki-laki, namun terlihat luar biasa cantik dan menawan. Matanya yang terpejam, hidungnya yang mancung dan kecil, bibir ranumnya yang—
Cukup, Jaemin memejamkan matanya. Menghalau semua pikiran gila yang hampir mempermainkan dirinya. Dia ubah posisi tidurnya jadi terlentang. Memaksakan diri agar ikut terlelap seperti yang lainnya. Dan berharap debaran di jantungnya segera mereda.
Sebuah suara membangun Jaemin dari tidurnya yang baru sebentar. Renjun terlihat berjalan keluar dari kamar. Pukul 2 pagi.
Jaemin paksa dirinya sendiri untuk bangun, dengan niat ingin ke kamar mandi sekaligus ingin tau apa yang Renjun akan lakukan di jam segini.
Jaemin meremas dadanya, rasa sakit itu tak kunjung reda. Ketika disini, ia duduk melihat ke arah mushola tempat biasa mereka menjalankan ibadah.
Dia lihat, Renjun, seseorang yang selama hampir 3 tahun telah berhasil mengacaukan hati dan pikirannya, sedang bersujud di hadapan Tuhan-Nya. Dengan bibir yang merapalkan doa-doa, ia begitu khusyuk dalam menghadap sang pencipta.
Matanya masih menatap Renjun dengan sendu, dia sentuh benda yang setiap saat merangkul lehernya, kalung salib itu dia pegang dengan kuat.
Ya Tuhan
Bolehkah ia menyebut nama-Nya. Ia merasa berdosa. Ia sadar dengan segala kesalahannya. Perasaannya. Semuanya.
Mengapa sesulit ini. Bukan dia yang menginginkan rasa ini datang padanya. Dia merasa sakit sendirian.
Bukankah segala yang ada di dunia ini terjadi atas kehendak-Nya? Lalu sebenarnya apa rencana Tuhan untuknya? Keadaannya saat ini begitu menyiksa jiwa dan raganya.
Ia dan Renjun, tak bisa bersama karena memiliki persamaan.
Ia dan Renjun, tak bisa bersama juga karena memiliki perbedaan.
Renjun melihat dirinya dari sebrang sana, tersenyum padanya dengan wajah yang berseri dengan air wudhu yang masih tersisa.
Begitu indah, dan menyakitkan secara bersamaan
Dia ikut paksakan senyum di bibirnya, menahan gejolak rasa sakit di bawah tangannya yang masih memegang kalung salib miliknya.
Ia genggam kalung itu, se erat bagaimana Renjun menggenggam tasbihnya.