mrh

NSFW, mature content, kissing, anal sex, kuasar rek bahasane, TYPO! No minor!


Renjun di selimuti emosi. Kesabarannya sudah ada di ujung tanduk sekarang. Wajahnya memerah. Tangannya terkepal erat. Nafasnya tidak beraturan. Semua ini gara-gara omongan sahabat pacarnya. IYA. SAHABAT.

Tai..

‘Sahabat doang tapi bacot nya gede.’

Renjun mondar mandir di dalam kamar kos nya. Badannya bermandikan keringat karena menahan emosi. Kuku jarinya dia gigit-gigit. Dia gelisah. Pacarnya tak kunjung membalas pesannya.

‘Jangan-jangan emang bener..?’

Sialll...

Renjun meremas rambutnya.

Ting

Sebuah pesan masuk. Segera saja di berlari untuk mengambil ponsel yang tadi dia lempar ke atas kasur. Pesan dari nomor yang tidak dia simpan. Menunjukkan sebuah foto. Seseorang sedang berciuman. Pacarnya. Lee Jeno.

“Lee Jeno bangsat. Bangsat bangsat bangsatttttt!”

Air matanya hampir keluar saking emosinya. Dia lempar kembali ponselnya. Kali ini bukan ditempat yang aman. Tapi di tembok yang langsung saja membuat banyak retakan di ponsel itu.

Dia tidak bisa berpikir jernih sekarang. Omongan Sherly sahabat Jeno sedang mempengaruhi pikirannya.

‘Jeno sekarang lagi sibuk sama gue. Udah males dia sama cowok bar-bar kaya lo. Kalo lo mau tau dia kemana aja selama ini, ya ngewe sama gue. Dia bilang kalo lo udah ngebosenin. Ngga usah kaget kalo ntar lo tiba-tiba diputusin.’

Renjun tidak akan semarah; seemosi ini kalau saja Jeno mau dia ajak bicara baik-baik. Karena nyatanya, setiap Renjun ingin meluruskan apa-apa saja yang dia dengar dari mulut Sherly Jeno selalu tak peduli. Dia bilang;

‘Apa sih Ren, kamu tau sendiri kita cuma temen. Ngga ada apa-apa. Lagian kamu tau 'kan kalo aku sukanya sama cowok. Ngga penting ini.’

Bagi dia mungkin tidak penting. Tapi bagaimana dengan Renjun. Selama ini dia tertekan sendirian. Ingin coba-coba selingkuh juga dia.. takut... Semarah apapun Renjun, kemarahan Jeno jauh lebih menakutkan. Tapi tidak untuk sekarang.

Pintu kamar Renjun terbuka. Jeno disana. Menatap sekeliling kamar yang tampak berantakan. Lalu tatapannya tertuju pada satu-satunya manusia yang ada di kamar ini.

“Kenapa kamarnya berantakan gini?” Jeno berbicara dengan pelan. Mencoba memahami kondisi yang ada di depannya.

“Lo ngapain di sini?” emosi dalam suara Renjun terdengar jelas. Dan Jeno sadar itu.

“Aku duluan yang nanya, Renjun.”

“Tai lo Jen. Lo kalo udah bosen sama gue tu bilang Jen. Jangan malah jadi bajingan.”

Jeno diam mendengarkan. Kedua tangannya dia silangkan di depan dada. Siap mendengar apa lagi sekiranya yang akan Renjun ucapkan.

“Kok kamu bisa ngomong gitu? Emangnya aku ngapain?”

“Lo bisa ngk sih nggk usah sok polos. Gue capek Jen capek! Bangsat.”

Wajah Jeno sudah hampir mengeras sekarang. Ucapan kasar Renjun cukup mengganggunya.

“Apa? Lo nggk suka gue ngomong kasar? Bangsat bajingan lo nggak suka? Kalo nggk suka kita putus aja.”

Sudah cukup.

Jeno berjalan cepat menghampiri Renjun. Sedangkan Renjun sendiri tetap diam di tempat dengan dagu terangkat. Dengan cepat Jeno raih pinggang dengan satu tangannya. Dan tangan satunya yang mencengkram kedua pipi Renjun, menekannya.

Badan keduanya menempel sekarang. Tapi tidak ada keromantisan di sana. Hanya ada emosi yang menguasai satu sama lain. Renjun tidak mencoba menolak. Kedua tangannya dia biarkan mengepal disisi tubuhnya.

“Ngomong apa barusan? Coba kamu perjelas lagi.” suara Jeno terdengar rendah dan dalam.

“Gue mau putus bangsat. Putus. Udahan. Ngerti?”

Jeno dekatkan wajahnya, bibirnya berada tepat didepan bibir merah Renjun, meremas pinggang ramping Renjun dengan erat, “Kamu mau nakal lagi sekarang? Hm? Ngomong yang jelas Huang Renjun. Atau aku bakal bener-bener marah.”

“Lo —

Renjun cengkram lengan Jeno yang masih memegang wajahnya,

Udah berapa kali ngewe sama Sherly. Hm? Pertanyaan gue cukup itu aja. Selebihnya biar gue telen sendiri.”

Jeno makin rapatkan lagi tubuh keduanya,

“Kamu denger omongan kaya gitu dari mana?”

“Dari dia sendiri. Gue juga dapet kiriman foto waktu lo ciuman sama cewek. Atau jangan-jangan lo jadi gigolo sekarang?”

Jeno lempar tubuh Renjun ke ranjang. Yang selanjutnya dia tindih tubuh yang lebih kecil darinya itu.

Jeno sudah hampir mengigit lehernya, sebelum dia rasa bahunya di tahan oleh Renjun.

“Lo tau Jen, gue beneran capek. Lo nggak pernah mau dengerin omongan gue. Gue makan ati sendiri. Sakit sendiri. Mau gila sendiri.” suara Renjun tercekat, dia telan air liurnya susah payah. Air mata bahkan sudah berbondong-bondong keluar dari matanya.

“Kalo gitu sekarang ngomong.”

“Gunanya apa gue ngomong sekarang. Udah berdarah, lo mau bikin makin bernanah.”

“Aku cinta sama kamu Ren, cuma kamu. Kamu bilang sekarang aku harus apa biar kamu bisa tenang.

Ngewe sama Sherly? Nggak pernah sama sekali. Ciuman sama cewek? Siapa? Sherly? Nggak pernah. Aku nggak pernah seintim ini sama seseorang. Kecuali sama kamu. Perlu aku bilang lagi, kalo aku sukanya sama cowok. Ya itu kamu.”

“Kalo gitu kenapa lo selalu ngehindar tiap kali gue ngomong tentang dia. Gue juga bisa sakit hati Jen kalo denger omongan dia. Mau lo gue tahan? Udah. Udah gue tahan dari sejak awal kita deket. 4 tahun Jen gue nahan. Sekarang udah ngga bisa.”

“Maaf. Tapi demi apapun aku ngga ada hubungan apa-apa sama dia. Aku cuma cinta sama kamu Ren. Please.”

Jeno bungkam bibir Renjun yang terbuka. Dia lumat, jilat, dan beri gigit-gigitan kecil di bibirnya. Jeno tak ingin memberi kesempatan pada Renjun untuk berbicara. Maka dia masukan lidahnya dengan terburu sebelum Renjun menutup mulutnya. Dia tarik lidah Renjun dengan lidahnya. Badannya semakin dia rapatkan, namun tidak sampai menyakitinya.

“Aku cuma ngewe sama kamu. Cuma mau sama kamu.” Jeno berbicara disela-sela ciumannya. Jeno lepaskan tautan bibir mereka. Dia lepas jaket dan kaos yang masih melekat di tubuhnya. Lalu menarik kaos yang Renjun pakai sampai terlepas juga.

Baru setelahnya bibir keduanya kembali bertemu.

Ciuman kali ini terasa penuh emosi. Sama-sama tidak ada yang ingin mengalah dalam hal memakan bibir satu sama lain.

Tangan kiri Jeno masuk menyusup ke dalam celana jeans yang Renjun pakai, setelah sebelumnya dia bersusah payah melepas kancing dan menurunkan resleting nya. Dia genggam penis kesayangannya. Sudah terasa keras dan sedikit lengket karena cairan yang keluar dari ujung nya. Tangannya semakin ke belakang, menyentuh bibir anal Renjun yang terasa berkedut di bawah kulit jarinya.

“Sebenernya Ren, aku cukup marah sama kamu. Omongan kamu hari ini kasar banget sama aku. Kamu tau?” Renjun menelan ludah nya,

“Ya gue marah. Aku.”

“Kalo marah emang boleh ngomong kaya gitu?”

Renjun tarik kepala Jeno untuk menyatukan kembali bibir mereka. Serius, Renjun tadi benar-benar marah. Tapi dia juga takut karena sekarang Jeno kembali mendominasi nya.

“Eungh.. Jen. Masih kering.”

“Kamu nakal banget Renjun.”

“Iya, maaf. Basahi dulu argh jangan dimasukin dulu Jennn.”

Renjun merasa tidak punya harga diri sekarang.

Jeno bangun dari posisinya sekarang. Menarik celana Renjun sekalian dengan celana dalamnya. Baru setelah itu dia buka lebar-lebar kedua kaki kurus milik kekasihnya itu. Lututnya dia tekuk sampai lubang senggamanya terlihat jelas. Dia dekatkan wajahnya sampai berada tepat di depan anal Renjun. Dia jilat sedikit setelah itu dia tiup.

“Ahh.. Jenhh..”

Milik Renjun terlihat semakin tegak dan keras. Dia raih penis Renjun dengan satu tangannya dan kemudian dia gigit ujungnya.

“JENO! Sakit.”

“Maaf. Sengaja.”

Sudahlah. Jeno tidak mau lagi berlama-lama. Dia bisa bermain-main lain kali. Sekarang saat nya menggempur kucing nakalnya.


“Jenn...JENN! Pelan..AHH..”

Badan Renjun terhentak dengan keras. Jeno memasukinya tanpa ampun. Jeno mencengkram kuat kaki kiri Renjun yang tersampir di bahunya. Sedang tangan kirinya memegang erat pinggang Renjun.

Jeno lepaskan kaki kiri Renjun dan merendahkan tubuhnya. Bibirnya meraih puting kecil yang sudah tegang dan basah itu. Dia kunyah main-main. Membuat pemilihnya mendesah semakin keras.

Renjun hampir mencapai klimaks nya. Lubangnya semakin mengetat. Meremas dan menelan milik Jeno semakin dalam.

“Renn...”

Jeno semakin mempercepat gerakan pinggulnya. Renjun juga ikut mengerakkan bokongnya naik turun. Ikut membantu Jeno agar keduanya mendapat pelepasan secara bersamaan.

Beberapa tusukan lagi. Dan keduanya mencapai puncak. Jeno masukan miliknya semakin dalam. Menikmati lorong hangat dan ketat yang mencengkeram milknya.

Dia beri Renjun kecupan-kecupan basah di leher. Lalu ke bibirnya yang sudah sangat bengkak.

“Jadi, masih mau putus?”

Renjun tak langsung beri jawaban. Dia masih mengatur nafas dan detak jantungnya. Pikirannya melayang kembali memikirkan inti masalahnya.

“Tergantung. Kamu bakal dengerin semua keluh kesah aku, trus kamu harus jujur kalo aku nanya sesuatu, terus...

Renjun pikir-pikir lagi.

Nggak jadi putus deh.”

Jeno mendengus. Dia nyamankan posisi keduanya. Dengan miliknya yang masih tertanam di lubang Renjun.

“Terserah. Apapun bakal aku lakuin asal ngga ada kata putus diantara kita. Jangan sampe perjuangan aku nyari cincin nikah yang kamu mau jadi sia-sia.”

“HAH??”