onus
Huang Renjun , anak sulung dari empat bersaudara, 23 tahun. Ayahnya meninggalkan mereka saat usianya baru menginjak kelas 6 sekolah dasar. Ia, ayahnya, dengan tega meninggalkan istrinya yang baru hamil anak ke empat mereka. Meninggalkan 3 orang anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang orang tua. Meninggalkan janin yang bahkan belum sempat memeluk hangat tubuh besarnya. Demi wanita muda yang dengan lancang merenggut kebahagiaan kecil dari keluarganya.
Meninggalkan begitu banyak beban
Renjun, dengan tulus hati merelakan masa mudanya demi mengais sesuap nasi. Melakukan pekerjaan di sana-sini demi menghidupi lima nyawa manusia. Merelakan pundak semprit nya jadi sandaran dan tempat meluruhkan tangis keluarga terkasihnya. Memikirkan bagaimana cara supaya adik-adiknya bisa tetap mengenyam pendidikan sampai setinggi-tingginya. Tidak seperti dirinya. Batinnya menjerit. Dadanya sesak.
Ya Tuhan, mengapa begitu berat
Selama 23 hidupnya, sedikit ia punya ingatan tentang sebuah kebahagiaan. Kira-kira kapan ia merasakan bahagia tanpa langsung teringat akan beban hidupnya
Rasa tenang ketika makan. Rasa damai ketika tidur. Hal sederhana yang terasa sulit untuk ia dapatkan.
Rasa tenang, damai, dan bahagia terlihat seperti fatamorgana bagi Renjun. Ilusi nyata yang bisa langsung hilang dalam sekejap. Hanya bayangan yang bahkan tak tersentuh. Kepalanya tak berhenti berisik mengingatkan kepada dirinya tentang bagaimana esok hari akan berjalan. Semuanya terasa runyam, suram, apa benar yang namanya hidup itu seperti ini?
Renjun harus bertahan. Kalaupun ia mati hari ini matinya pasti jauh dari kata tenang. Ia harus pastikan bahwa nyawa lain yang menggantungkan hidup padanya bisa benar-benar hidup. Baru mungkin ia bisa segera mati dan tidur dalam damai.
“Belum, ya?”
“Hah?”
“Belum selesai?”
Ah, dia lupa
Terlalu sibuk meratapi nasib, sampai-sampai ia lupa dengan seseorang yang dengan sabar menahan punggungnya agar tetap bertahan. Selalu seperti ini.
Na Jaemin , laki-laki baik hati yang dengan suka rela menceburkan diri masuk ke dalam hidupnya yang bagai kubangan lumpur ini. Teman masa kecil yang sering ia lupakan eksistensinya. Demi mengadu nasib malangnya pada semesta.
“Ngobrol sama pikirannya belum selesai ya? Aku tunggu deh kalo emang belum, tapi jangan lama-lama ya, kan kita mau beli batagor.”
Mana tega Renjun, membawa lelaki sebaik Jaemin masuk ke dalam keruh hidupnya. Dia pantas mendapat seluruh cinta dari dunia ini. Namun bukan dengan dirinya. Tapi, yang namanya Na Jaemin, teguh pendiriannya tak akan bisa Renjun bantah. Tenaganya tak cukup kuat untuk mendorong si Leo menjauh darinya.
Dia harus bersyukur atau apa?
Karena nyatanya, Na Jaemin begitu kukuh masuk ke dalam celah hidupnya.
“Halloo” Jaemin goyangkan tangannya di depan wajah orang yang masih bergulat dengan pikirannya itu. Tangannya kemudian ia bawa untuk menyentuh lembut kening si pemikir. Dia beri usapan sehalus sutra. Berharap kerut di dahi itu bisa lekas menghilang.
“Maaf ya, Jaemin.”
“Buat?”
“Ngga tau. Maaf aja”
Jaemin paham, ia tak bisa memaksa. Maka ia bentangkan kedua tangannya, “Mau peluk?” sejuta kalimat baik penuh makna yang keluar dari mulutnya mungkin tak akan cukup mengusir gundah si kecil. Jadi lebih baik ia coba cara lain. Badan yang terlihat rapuh itu masuk kedalam dekapannya. Menyamankan kepala penuh cerita itu di bahu tegapnya.
Ia beri usapan di sepanjang bahu dan punggungnya. Seolah mengatakan bahwa badan kecil ini begitu kuat karena sudah berjuang melawan garis takdirnya dengan sangat baik.
“Na Jaemin disini. Selalu. Kalaupun kamu lupa, ngga masalah. Aku bakal ngingetin terus. Biar kamu Huang Renjun, ngga akan ngerasa sendiri di dunia yang jahat ini.
Renjun, mau ya, aku temenin?”