Eluniccoo

Berisi dialog tanpa narasi


“Aku ini emang ngga guna banget ya jadi manusia, semua yang terjadi sama hidupku selama ini ya muri karena kesalahanku sendiri” -R

“Kan, mulai” -J

“Ya emang bener Jaem, liat aku sekarang, pengangguran. Jadi beban keluarga. Jadi omongan tetangga. Jadi bahan bullyan keluarga besar. Karena apa? Ya jelas karena salah ku sendiri—

“Aku yang bodoh, aku yang tolol, aku yang penakut. Pengecut. Mental tempe. Ada masalah dikit overthinking, dipikir sampe stress, ujung-ujungnya ya aku sendiri yang susah.” -R

“Ya udah, capek kan? Istirahat dulu. Ada aku kan, jangan merasa sendiri.” -J

“Apa gunanya sih Jaem, mau ada jutaan miliyaran orang disekitar ku ya tetep aja rasanya aku kaya sendirian. Kesepian. Mau nangis aja nunggu orang rumah pada tidur dulu. Baru muka di kekep bantal biar ngga keluar suara nangisnya. Sesegukan sampe dada sesek sendirian—

“Kadang aku mikir, ya Tuhan, ini aku hidup di dunia fungsi nya apa sih hahaha, kaya cuma jadi pemeran figuran yang sialnya angst jalan hidupnya.” -R

“Setelah sekian lama kamu baru mau terbuka gini sama aku. Jujur aku seneng.” -J

“Seneng bisa denger kisah hidup ku yang menyedihkan?” -R

“Seneng karena dengan kamu cerita kaya gini paling ngga kamu rada lega kan?” -J

“...”-R

“Ren, jangan lupa kalo kamu di ciptakan Tuhan bukan cuma sekedar untuk jadi figuran. Tapi sebagai manusia.

“Tau manusia kan? Makhluk sosial, yang mau semandiri apapun kamu mau hidup, tetep butuh bantuan manusia lain. Contoh paling dekat, kamu lahir di dunia ini di bantu ibu kamu yang susah payah berjuang bertaruh nyawa biar kamu bisa lihat cahaya di dunia. Kamu mati juga ngga bisa kan ngubur dirimu sendiri, butuh orang lain—” -J

“Kamu paham ngga sih Jaem kenapa selama ini mendem semua keluh kesah ku sendirian?” -R

“Ya ngga tau Renjun aku manusia biasa. Aku bukan Tuhan, malaikat, manusia super atau apapun sampe-sampe aku bisa tau semua apa yang kamu rasakan, apa yang kamu pikir, apa yang ganggu kamu.

“Makanya itu Renjun, ayo ngomong sama aku.” -J

“Ekpektasi ku terlalu tinggi Jaem, sama respon yang orang lain kasih ke aku kalo aku cerita tentang masalah ku ke mereka.

“Orang kalo curhat ke aku, sebisa mungkin, sebaik mungkin bakal aku respon dengan baik. Aku dengerin dengan serius, kalo aku bisa ngasi solusi ya aku kasih. Tapi apa Jaem, giliran aku yang curhat mereka malah adu nasib asu. Malah sibuk main hp, ham hem ham hem tapi aslinya ngga merhatiin. Makan ati yang ada.” -R

“Aku gitu juga?” -J

“Maksud nya?” -R

“Respon ku, kalo kamu curhat ke aku?” -J

“...” -R

“Ah.. kamu kan ngga pernah curhat ke aku ya.” -J

“Kamu ngga pantes Jaem jadi tempat sampah ku.” -R

“Emang yang pantes yang kaya gimana Ren? Oh.. bahkan sekarang kamu juga mengotak-ngotakan ya, siapa-siapa aja yang pantes dan engga nya buat jadi tempat orang berkeluh kesah.” -J

“Ya ngga gitu Jaem..” -R

“Terus? Aku bukannya mau nekan kamu Ren, tapi udah cukup sekarang. Ada aku Renjun. Aku siap jadi tempat sampah mu. Kamu mau buang kotoran paling kotor pun bakal aku tampung.” -J

“Keluh kesah ku Jaem? Ya isinya cuma penyesalan dalam hidup ku semua. Intinya aku nyesel sama semua hal yang terjadi dalam hidup ku—” -R

“Termasuk adanya aku?” -J

“Kamu jelas pengecualian.” -R

“Selain aku, apa-apa lagi pengecualian dalam hidup mu yang kata kamu penuh penyesalan itu?

“Pasti ada yang lain kan?” -J

“Renjun yang tersayang, kamu ini ibarat orang yang fokus melihat pada titik hitam kecil di ujung kertas putih yang besar. Daripada melihat suatu persoalan yang ibarat nya seperti titik kecil itu, kenapa kamu ngga memandang hamparan putih yang lebih besar.

“Kamu bisa lukis apapun, dengan warna apapun kesukaan kamu pada yang putih dan besar itu. Kamu juga bisa modifikasi titik hitam yang kecil dan di ujung itu.

“Sama aku. Aku siap jadi kuas buat kamu.” -J

NSFW, mature content, kissing, fingering, anal sex, TYPO! MINOR AWAS YA! dan segala dosa ditanggung masing-masing! wqwq


“Mas, handuk. Yang bener.”

“Yang, kan nanti dipake mandi lagi”

“Mandi mulu, tagihan air noh mahal sekarang” sambil mengomel lucu, tangan Renjun sibuk merapikan ranjang yang akan mereka jadikan tempat istirahat.

Jaemin peluk suami lucunya dari belakang, dia dekap erat tubuh itu, sambil di goyangkan ke kanan dan ke kiri, “Kamu ih, jangan lucu-lucu dong.”

Renjun hentikan aktifitas nya sejenak, dahinya mengernyit, ‘emang aku ngapain?’. Lalu lanjut merapikan ujung kasur.

“Yang”

“Hm”

“Mau kfc”

“Mau disini apa di dapur?”

Hah, tumben

Jaemin kendurkan sedikit pelukannya. Badan Renjun tiba-tiba berbalik menghadapnya, lengannya dia kalungkan di leher yang lebih tinggi. “Aku baru masak nasi. Ayamnya juga masih anget kok. Kalo mau makan disini aku ambilin.”

Kampret

Jaemin jatuhkan wajahnya di bahu Renjun, maju ke arah leher dan mengigit kecil kulit mulus di hadapannya. Jaemin rasa suaminya tidak perlu dia beri penjelasan tentang kfc apa yang dia maksud. Lebih baik langsung praktek saja kan.

Gigitan kecil tadi berubah jadi hisapan, sambil lidahnya ikut berkerja menjilati bekas hisapannya. Tangan kirinya masuk ke dalam kaos longgar suaminya. Menyentuh punggung yang terasa halus di bawah tangan besarnya, kulit yang di rawat dengan biaya double, karena, yaaa, suaminya kan dua. Jadi perawatan nya bukan recehan. Dan tangan kanannya nya masuk ke celana belakang, menembus celana dalam Renjun dan memberi remasan di pantat bersisi yang tidak kalah lembut itu. Semua yang ada di diri Renjun memang menakjubkan baginya.

“Eughh.. mas, ngga jadi makan?”

Renjun hanya bisa meremas bahu suaminya. Rangsangan yang dia dapat, di tambah aroma sabun dan shampo yang terasa sangat segar dari tubuh Jaemin, membuat Renjun menjadi pening juga. Tidak ada jawaban dari pertanyaan Renjun. Dan sekarang bibirnya sudah menjadi santapan lezat untuk Jaemin.

Ciuman kali ini terasa lebih brutal namun tetap intens. Jaemin kecap setiap sisi dari bibir Renjun. Memainkan lidahnya agar bibir suami manisnya terbuka. Dan selamat datang. Hisapan baru Jaemin telah dia temukan. Saling bermain lidah, saling menghisap, berciuman seolah tiada lagi hari esok.

Dua jari kiri Jaemin, telunjuk dan tengah, dia bawa ke arah mulut Renjun. “Kulum sayang” dan dengan patuh Renjun masukkan kedua jari itu ke mulutnya. Membasahi nya dengan air liur miliknya. Perlahan, tanpa saling menjauhkan diri, tubuh Renjun sudah terbaring di ranjang. Dengan jari yang masih ada di mulutnya.

“Cukup”

Sungguh. Suara suaminya ketika sedang di selimuti kabut nafsu benar-benar membuat Renjun bungkam. Padahal kalau di kehidupan sehari-hari, bisa kita lihat kalau Renjun cukup mendominasi. Yaa, walau kadang mendominasi untuk hal-hal aneh atau yang di rasa di luar nalar.

Jaemin turunkan celana beserta dalamnya sekaligus. Tidak mau membuang waktu. Dia lebarkan kedua kaki Renjun, dia usapkan jari yang sudah basah karena air liur milik suaminya tadi di sekitar lubang yang terlihat berkedut itu. Satu jarinya masuk, dan jari satunya lagi bermain di sekitarnya.

“Mas..Ahh..Jaemh..”

Seperti biasa, Jaemin selalu bermain pelan, dia masukan kedua jarinya di anal suaminya pelan, dan di keluarkan lagi dengan sama pelan nya. Membuat Renjun hampir gila karena sensasi yang dia rasakan.

“Jaemnh.. jangan pelan-pelan ih.. Ahh”

“Hm? Mau coba main kaya Jeno, tapi bedanya kali ini mainnya sama aku. Hm?”

Renjun menggeleng ribut. Cukup ada satu Jeno. Dan Jaemin cukuplah jadi dirinya sendiri.

“Aku mau di atas” Renjun utarakan keinginan dengan susah payah. Jari di dalamnya sudah ada empat. Padahal yang di beri pelicin tadi hanya dua. Ahh gila rasanya

“Yakin kamu yang?” dan di jawab dengan anggukan patah-patah oleh Renjun.


Posisi Renjun sekarang sudah duduk di pangkuan Jaemin yang duduk menyandar di kepala ranjang. Dengan baju, celana, dan sebagainya yang sudah hilang dari tempatnya. Milik Jaemin sudah licin oleh pelumas, begitu juga dengan lubang Renjun. Sudah siap masuk dan mulai inti acara.

“Mas, tapi kamu yang masukin”

“Ngga totalitas dong sayang kalo tetep aku yang masukin”

“Cepet ih”

Jaemin menghela nafas sejenak. Dia pegang kejantanannya, dan dia kocok sebentar. Renjun sudah siap mengangkat tubuhnya sedikit, dengan tangan kanan yang bertumpu ke belakang di paha suaminya, dan tangan kiri di bahu Jaemin. Dengan pelan, Renjun turunkan badannya, penis besar itu perlahan-lahan masuk ke dalam dirinya.

“Eughh..”

Masuk dengan lancar. Renjun maju mundur kan pinggulnya. Terlalu lambat bagi Renjun. Tapi Jaemin suka.

“Mas”

Yang di panggil masih sibuk mengunyah nipple kiri Renjun.

“Capek”

Acara kunyah mengunyah Jaemin dia akhiri dengan jilatan di nipple lucu itu. Dia tatap wajah kuyu suaminya. Dan tertawa geli, “Kamu ya, baru masuk masa udah capek”

Renjun dekatkan wajahnya, bibirnya dia posisikan di depan bibir Jaemin. Dia beri kecupan kecil disana, “Kamu aja ya yang gerak, aku baru inget kalo besok aku ada janji sama gopar mau main gundu”

“Terus, hubungannya apa?”

“Nanti aku kecapekan trus jadi ngga fokus dong mainnya”

Cukup. Jaemin hentakan pinggulnya ke atas dengan keras.

“AAHH..Jaemh”

Posisinya dia ubah, dengan Renjun yang sekarang berada di bawahnya. Kali ini dia berniat akan bermain sedikit lebih lama dari biasanya. Biar saja, besok suami kecilnya ini tidak fokus bermain gundu dengan bocil bocil di komplek nya.

cw // NSFW/ADEGAN DEWASA ALIAS EUWE, sex , hayo bocil bocil awas yaaa


Sejujurnya, Renjun benar-benar kesal pada kedua suaminya.

Malam Jum'at seperti ini harusnya bisa digunakan untuk mempererat ikatan antar suami. Seperti, ya.. kalian tau 'kan.

Apalagi sekarang hujan. Hufftt, rasanya makin lengkap saja penderitaan Renjun. Dia butuh kehangatan sekarang juga. Selimut baru yang dia pakai saat ini kurang mampu menghangatkan tubuhnya.

Ahh..

Tiba-tiba pikirannya jadi melayang kemana-mana. Dia mengigit gigit bibirnya atas bawah. Membayangkan salah satu suami tampannyalah yang mengigit bibirnya. Bukan malah dia gigit sendiri. Renjun menghela nafas.

‘Lama sekali’, Renjun lihat jam besar yang menempel di dinding ruang tamunya. Suami-suami nya bilang mereka akan segera pulang, tapi hampir 30 menit, dan belum dia lihat salah satu dari mereka masuk dari pintu rumah mereka. Padahal Renjun sudah menyiapkan air hangat. Supaya mereka bisa langsung membersihkan diri dan segera—

“Aku pulang.”

Panjang umur

Jaemin first win. Melepas sepatu kerjanya dan melangkah ke arah suara geraman kecil dan lucu yang masuk ke gendang telinganya. Disana, suami lucunya sedang duduk dengan selimut yang membungkus dirinya dan hanya menyisakan wajah cantiknya saja. Wajahnya di tekuk, namun bibirnya mengerucut lucu dengan suara aneh yang keluar dari sana.

“Kasihan banget suaminya Mas Jaem sendirian. Sini peluk dulu” tubuh squishy Renjun langsung masuk ke pelukannya. Jaemin kencangkan dekapannya, dia cium pelipis Renjun, berpindah ke dahi, pipi, hidung, lalu bibir manisnya. Dia tekan lama bibirnya disana, lidahnya dia keluarkan. Dia jilat jilat kecil bibir manis di depannya, seperti seseorang yang menjilat es krim.

“Aku pulang”

Renjun tersenyum senang. Foto imut memang paling manjur untuk membawa kedua suaminya pulang. Dia kecup bibir Jaemin beberapa detik, lalu dia tepuk pipinya pelan, “Ayo mas Jaem mandi dulu.” setelah itu dia hampiri suami satunya. Enaknya punya suami dua. Hehe

Renjun bentangkan kedua tangannya, dan langsung diterima oleh Jeno. Pinggang ramping namun empuk Renjun dia peluk erat, dengan salah satu tangannya meremas pelan pinggang itu. Leher suami kecilnya dia beri kecupan kecupan kecil. Setelah itu dia hirup wangi si lucu. Terasa sangat memabukkan.

“Mau kiss” suara Jeno di lehernya terasa menggelitik. Dia angkat wajahnya suaminya dengan kedua tangannya, pipinya dia beri elusan, baru bibirnya maju untuk memberi kiss yang suaminya minta.

Kalau Jaemin tipe yang lembut dan suka menikmati setiap detail yang dia lakukan. Berbeda dengan Jeno. Dia lebih menggebu-gebu dan sedikit keras. Maka saat bibir Renjun sudah ada di depan bibirnya. Tanpa menunggu lama bibir manis itu dia makan. Renjun merasa bibirnya seperti di kunyah. Namun tidak menyakitinya. Pijatan di pinggangnya semakin teratur Jeno lakukan. Sampai kepala bagian belakangnya terhantam sesuatu. Handuk.

“Jen, mending lo buruan mandi sekarang atau gue tinggal.”

Acara mari-memakan-bibir-suamiku kini dengan terpaksa Jeno akhiri. Badan lemas Renjun dia serahkan pada Jaemin.


“Aahh.. Mas!”

Disinilah Renjun sekarang. Terhimpit badan besar kedua suaminya, dengan tubuh bagian atas ketiganya yang tidak tertutup apapun, dan saling menempel. Dengan posisi berdiri didepan ranjang besar mereka, Renjun menguatkan dirinya agar kakinya tetap menapak di lantai. Serangan di depan dan belakangnya amat sangat memabukkan nya.

Jaemin didepannya, dengan khidmat melumat bibirnya. Tangan kanan Jaemin dia lingkaran di pinggang Renjun. Dan tangan kirinya mengelus sekitaran tulang ekor suami kecilnya dengan sensual.

Jeno dibelakang tak kalah sibuk. Punggung dan leher Renjun mungkin sudah ada jutaan warna kemerahan. Tanda gairah yang sudah terlanjur meluap-luap. Puting kanan Renjun dengan telaten Jeno pijat dengan tangan kirinya, kadang di sekitar puting yang sudah tenggang itu di garuk-garuk kecil.

Kejantanan Renjun di genggam sedikit kuat oleh Jeno. Milik Jeno sendiri yang sudah sangat keras menempel erat di belakang. Menggoda belahan pantatnya yang masih tertutup celana dalam tipis yang suaminya belikan.

Renjun menjerit dalam hati. Rasanya dia akan gila.

“Mas..”

“Panggil apa Renjun” suara berat Jaemin makin meremangkan tubuhnya. Telinga kanan kirinya di jilat oleh dua orang yang berbeda. “Panggil Jeno sama Jaemin, sayang.”

Renjun tidak kuat. Katakanlah dia lemah, memang, ini masih pemanasan, dan ditambah suara keduanya suaminya yang sedang di tutupi kabut nafsu membuat Renjun menemui pelepasan pertamanya. Gila. Tangan kanan Jeno terasa basah. Dia beri pijatan di kejantanan Renjun dengan pelan dan teratur, membuat si kecil di depannya melenguh nikmat.

“Jaem, lo duluan aja” Jeno beri ciuman dalam pada Renjun. Sebelum melepaskan pelukannya dan berjalan ke arah sofa besar yang ada di kamar mereka. Bersiap menikmati tontonan menarik di depannya. Jeno sengaja mengalah pada Jaemin untuk bermain duluan, ya, karena dia sadar, permainannya pasti tidak akan selembut Jaemin. Dia tidak ingin kesayangan merasa terlalu kesakitan.


Jaemin gendong suaminya yang masih menikmati sisa-sisa pelepasannya. Dia rebahkan di kasur dengan lembut. Wajahnya yang sudah penuh dengan peluh dia kecupi. Dengan beberapa jilatan tanpa rasa jijik sedikitpun. Ciumannya turun ke bawah dagu, dia beri hisapan kuat di tempat itu.

“Jaemh..”

“Mau langsung aja, apa mau pemanasan lagi, hm?” Jaemin berbicara di depan puting kanan Renjun. Yang selanjutnya dia rasa mulut hangat Jaemin meraup puting nya. Membuat Renjun membusungkan dada, dan meremas rambut hitam lebat milik Jaemin.

“Jaeminh jaem...langsh..ah.. langsung aja”

Milik Renjun tak henti-hentinya mengeluarkan cairan precum, Renjun sungguh butuh milik suaminya untuk berada di dalamnya sekarang.

Puas mulutnya mengunyah benda kecil di dada suaminya, tangan Jaemin berusaha melepaskan satu-satunya benda yang melekat di tubuh Renjun. Dia kemudian merambat ke bawah, menciumi seluruh tubuh indah di bawahnya. Kedua kaki Renjun dia lebarkan, melihat lubang yang sepertinya tidak sabar menelan miliknya yang sudah mengeras.

“Jen” Jaemin turun dari ranjang untuk melepaskan celananya. Setelah itu dia terima benda yang di lempar oleh Jeno. Pelumasnya. Lubricant

Dia tuang ke tangannya lalu dia oleskan pada kejantanannya. Sisa di tangannya dia oleskan pada lubang anal Renjun. Dia mainkan jarinya di sekitar lubang itu sebentar. Melihat suaminya menggeliat keenakan. Tiga jarinya langsung dia masukkan. Berusaha melonggarkan lubang itu. Di rasa sudah cukup, menu utama sebentar lagi kita dapatkan.

Milik Jaemin sudah ada di depan lubang milik Renjun, dia masukan dengan pelan, sebisa mungkin Jaemin nikmati setiap pijatan dari lubang Renjun di penisnya. Pelan, sampai miliknya benar-benar masuk seluruhnya ke dalam. Setelah itu dia keluarkan lagi, dengan sama pelan nya.

“Eungh..Jaeminhh..” Renjun masih belum terbiasa dengan permainan kedua suaminya yang berbeda itu. Kelembutan dan ritme pelan yang Jaemin mainkan membuat Renjun ingin gila rasanya.

“AAAHH”

Jaemin mulai menghentakkan pinggulnya. Dan langsung mengenai titik terdalam Renjun. Membuatnya berteriak kencang karena nikmat tiada tara.

Permainan Jaemin berjalan dengan lancar. Pelepasannya sempurna seperti biasa. Dia keluarkan miliknya dengan pelan. Menyugar rambutnya kebelakang, dia beri kecupan cinta di dahi dan bibir Renjun. Sebelum beranjak dari tempatnya dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.


Jeno posisikan dirinya diatas Renjun yang masih mengatur nafasnya. Dia usap bibir yang sedikit terbuka itu, setelah itu dia dekatkan wajahnya, “Masih kuat 'kan, sayang” ucapnya diatas bibir Renjun. Miliknya yang tadi sudah sedikit melemas sekarang kembali tegang hanya karena suara seksi suaminya.

Renjun kalung kan kedua lengannya di leher Jeno. Lidahnya di usapkan pada bibir suaminya. Setelah itu acara makan-memakan mulut itu di mulai kembali. Jeno tidak mau berlama-lama. Dengan melihat adegan panas yang sebelumnya terjadi di sini tadi saja sudah cukup menyiksa nya.

Dia hisap kuat-kuat bibir Renjun. Tangan kirinya bermain dengan pantat kenyal suaminya. Dia remas dengan kuat dan gemas. Pantat favoritnya. Terasa sangat pas di tangan besarnya. Kejantanannya dia gesekan dengan milik Renjun.

“Eughh..”

Tautan bibir mereka Jeno lepas. “Renjun tau 'kan, posisi favorit Jeno.” Renjun anggukan kepala, dan langsung merubah posisinya menjadi tengkurap. Setelah itu dia angkat tinggi-tinggi bokong cantiknya, hingga berada tepat di depan wajah Jeno yang duduk belakangnya. Doggy style , posisi favorit Jeno.

Milik Jeno segera ia beri pelumas. Tidak sabar menggempur lubang yang terpampang di depan matanya. Pantat Renjun terlebih dulu dia beri tanda. Dia hisap kuat sampai warna kemerahan muncul dengan cepat. Baru menu utama bagi Jeno dia dapatkan.

“AAHHH..Jenhh..pelan!”

Sebenarnya lubang Renjun masih sensitif, tapi Jeno dengan tenaga dan stamina yang tidak main-main menumbuknya dengan kuat dan cepat. Tidak seperti Jaemin yang suka dengan sensasi pelan dan sangat pelan, Jeno lebih suka cepat dan langsung saja.

“Ahh..Ren..”

Dorongan pinggul itu semakin cepat, tangannya meremas pinggang Renjun dengan ritme teratur. Membuat Renjun kembali menggila untuk yang kedua kalinya.

“Renjun, masih jadi model?”

“Masih ma”

“Oh, duitnya banyak ya jadi model, pasti lebih banyak dari Jaemin.”

“Ya pasti lah ma, lihat aja tuh tas, baju, sepatu punya kak Renjun branded semua.” ucap Shiela sinis, adik dari Jaemin calon suaminya yang tiba-tiba duduk di samping mama nya.

Renjun atur nafasnya pelan-pelan, dia sunggingkan senyum terpaksa, “Engga kok Shi, ini mah cuma dikasih orang aja.”

“Oh, dikasih orang.”

Calon mertua dan calon ipar nya saling melirik dengan senyum miring di bibir penuh lipstik tebal mereka.

‘Sialan, gue ngga tahan’

Jaemin hisap rokok nya dengan kuat, lalu ia buang asapnya dengan perlahan. Matanya terpejam. Menikmati sensasi pelepasan asap sigarèt nya. Bibirnya melengkungkan senyum lebar, hingga akhirnya terkekeh.

“Keren, keren banget kamu Renjun. Udah berani ya sekarang.” ucapnya setelah dia matikan rokoknya, kemudian bertepuk tangan dan tertawa kencang.

Dengan tawa yang belum sepenuhnya reda, dia fokuskan perhatiannya pada berita di televisi tentang seorang model yang membuat cuitan kontroversial. Yang membuat namanya- Renjun , dan juga dirinya menjadi trending topik dalam kurun waktu yang lumayan lama.

“Hmm, dasar kucing nakal.”

Cw // kecup dikit

“Ter, kita mau kemana?”

“Ih, masa ngga tau ini jalan mau kemana”

“Ke alun-alun?”

“Seratus buat cintaku.”

Waktu Terry dapet pesan dari Amas, sebenernya dia lagi jalan ke parkiran mau ambil motor buat pulang. Rencananya dia emang mau langsung gas kenceng ke rumah si pacar. Dia juga kangen. Super kangen. Dan makin kangen waktu pacarannya juga ngeluh kangen ke dia. Jadi tanpa balas pesan terakhir dari Amasta, dia langsung tancap gas menuju obat kangen nya.

Amasta itu orangnya sederhana. Sangat sederhana. Dan itu juga jadi poin plus buat dia, yang bikin Terry makin menjadi-jadi cinta nya. Di ajak kemanapun ngga pernah ngeluh. Di ajak makan apapun oke. Ngga pernah minta aneh-aneh. Jarang marah, marah yang beneran marah lho ya. Ngga pernah mau nyusahin orang lain. Kadang Terry jadi gemes sendiri, soalnya Amas jadi kaya terlalu sungkan sama dia. Padahal kan jelas-jelas dia pacarannya. Tapi ya yang namanya Terry, mau gimanapun tingkah Amasta, Terry nya tetep cinta.

“Merah banget, kebanyakan itu Ter sambel lo”

“Mau coba”

“Ngga usah maksa, ntar kalo perut sakit lo sendiri yang repot”

“Mau coba Amastaa, dikit deh”

Terry tuh begitu. Suka coba-coba, walau yang di coba nantinya bakal bikin dia susah sendiri. Apalagi hal yang berhubungan sama Amasta, Terry pasti selalu pengen nyoba. Kaya Amas yang suka makanan pedes, dan Terry yang ngga bisa makan pedes. Kalo ada kesempatan buat Terry nyobain makan pedes yang Amas makan, Terry selalu maju paling depan. Dan Amas, yang bakal dengan sabar kalo Terry udah ngeluh perutnya sakit atau blablabla.

Amas sendiri udah sering nasehatin Terry buat ngga usah maksain nyoba sesuatu yang aslinya dia ngga mampu. Bukan maksud buat matahin semangat dia, tapi Amas jadi kasihan dan ngga tega ngeliat nya.

Kaya sekarang nih, muka Terry udah merah kaya kuah bakso tusuk yang dia makan. Amas sodorin teh hangat yang tadi langsung dia beli waktu tau Terry ngeyel mau coba bakso berkuah sambel itu.

“Ah, pedes. Amasss~

Hhhhhhhh~

Kalo udah gini, manjanya pasti keluar.

Amas usap keringat yang ada di dahi Terry. Tangan satunya buat ngusap pipi yang memerah gemes karena pedes. Jujur, Terry jadi lucu sih, tapi kasihan juga. Sedang yang di usap masih minum teh nya dikit-dikit. Sambil matanya merem melek dan air matanya keluar malu-malu.

“Udah mendingan?” tangan Amas udah ganti fungsi jadi kipas angin. Sesekali dia lap lagi keringat yang masih ada di wajah ganteng pacarnya. Terry merem, trus buang nafas, “Udah.” perutnya dia usap usap, habis itu ketawa.

“Besok lagi ngga boleh coba-coba, ini namanya kamu nyiksa diri sendiri tau Ter” Amas pake jurus aku-kamu nya.

“Ya aku juga pengen makan pedes bareng sama kamu”

“Ngga perlu makan pedes juga kita bisa kan makan bareng. Kalo besok-besok kamu tetep maksa mau coba makan pedes, aku ngga mau ah di ajak jajan, mau di rumah aja, jadi anak nolep sampe tua”

Bibir Terry dia bikin jadi melengkung ke bawah. Sisa merah akibat sambel masih sisa sedikit, bikin mukanya jadi gemes banget minta disayang.

Amas kurung wajah Terry pake kedua tangannya. Poninya yang agak lepek karena keringat dia sibak. Habis itu pipinya di unyel unyel sama Amas, “Ga mempan ga mempan ga mempan. Jangan nakal ah, nanti Amas nya ngga mau di ajak main lagi.”

Amas udah kaya ngomong sama bocah.

“Mau peluk”

“Malu hih, banyak orang”

“Mana ada banyak orang, sepi gini.”

Idenya Terry. Sengaja cari tempat terpencil di sudut alun-alun. Katanya sih biar ngga ada setan yang gangguin.

Terry ambil kedua tangan Amas yang tadi nangkring di wajahnya. Dia dekatkan ke bibirnya trus dia kecup. Lama. Sampai matanya di tutup. Amas yang liat itu ngga bisa ngelak kalo badannya jadi kaya kena listrik.

Tiba-tiba Terry berdiri. Trus jalan ke ke depan sambil celingukan kaya cari sesuatu. Dia jongkok, agak lama. Amas ngga bisa liat apa yang Terry lakuin. Ngga berapa lama Terry balik ke tempatnya. Dia ambil tangan kanan Amas, trus jari manisnya di pakein sesuatu.

Sebuah cincin dari rumput liar.

Amas ngga bisa nahan senyumnya. Terry didepannya juga lagi senyum.

“Amasta, sekarang pake ini dulu ya. Nanti, kalo si Terry ini udah lebih mampu, janji deh, bakal di ganti sama yang lebih cantik.”

Amas gigit pipi bagian dalamnya. Matanya udah mau burem ketutupan sesuatu. Dia ngga tau mau ngomong apa sekarang. Jadi dia cuma ketawa kecil sambil nganggukin kepala. Tangannya dia bawa kembali buat megang wajah Terry. Trus dengan cepat dia kecup bibir pacarnya, pipi kanan kiri, dan yang terakhir di pucuk hidung mancungnya. Udah ngga peduli kalo ada orang yang liat.

“Bareng-bareng ya, kita sama-sama. I love you, Terry”

Senyum Terry jadi makin melebar,

“Iya, kita sama-sama. I love you too, Amasta”

Udah ya, kisah dua remaja yang di mabuk cinta ini sampai sini aja. Cukup kita doakan, semoga I love you mereka bisa awet sampe mereka tua.

Huang Renjun , anak sulung dari empat bersaudara, 23 tahun. Ayahnya meninggalkan mereka saat usianya baru menginjak kelas 6 sekolah dasar. Ia, ayahnya, dengan tega meninggalkan istrinya yang baru hamil anak ke empat mereka. Meninggalkan 3 orang anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang orang tua. Meninggalkan janin yang bahkan belum sempat memeluk hangat tubuh besarnya. Demi wanita muda yang dengan lancang merenggut kebahagiaan kecil dari keluarganya.

Meninggalkan begitu banyak beban

Renjun, dengan tulus hati merelakan masa mudanya demi mengais sesuap nasi. Melakukan pekerjaan di sana-sini demi menghidupi lima nyawa manusia. Merelakan pundak semprit nya jadi sandaran dan tempat meluruhkan tangis keluarga terkasihnya. Memikirkan bagaimana cara supaya adik-adiknya bisa tetap mengenyam pendidikan sampai setinggi-tingginya. Tidak seperti dirinya. Batinnya menjerit. Dadanya sesak.

Ya Tuhan, mengapa begitu berat

Selama 23 hidupnya, sedikit ia punya ingatan tentang sebuah kebahagiaan. Kira-kira kapan ia merasakan bahagia tanpa langsung teringat akan beban hidupnya

Rasa tenang ketika makan. Rasa damai ketika tidur. Hal sederhana yang terasa sulit untuk ia dapatkan.

Rasa tenang, damai, dan bahagia terlihat seperti fatamorgana bagi Renjun. Ilusi nyata yang bisa langsung hilang dalam sekejap. Hanya bayangan yang bahkan tak tersentuh. Kepalanya tak berhenti berisik mengingatkan kepada dirinya tentang bagaimana esok hari akan berjalan. Semuanya terasa runyam, suram, apa benar yang namanya hidup itu seperti ini?

Renjun harus bertahan. Kalaupun ia mati hari ini matinya pasti jauh dari kata tenang. Ia harus pastikan bahwa nyawa lain yang menggantungkan hidup padanya bisa benar-benar hidup. Baru mungkin ia bisa segera mati dan tidur dalam damai.

“Belum, ya?”

“Hah?”

“Belum selesai?”

Ah, dia lupa

Terlalu sibuk meratapi nasib, sampai-sampai ia lupa dengan seseorang yang dengan sabar menahan punggungnya agar tetap bertahan. Selalu seperti ini.

Na Jaemin , laki-laki baik hati yang dengan suka rela menceburkan diri masuk ke dalam hidupnya yang bagai kubangan lumpur ini. Teman masa kecil yang sering ia lupakan eksistensinya. Demi mengadu nasib malangnya pada semesta.

“Ngobrol sama pikirannya belum selesai ya? Aku tunggu deh kalo emang belum, tapi jangan lama-lama ya, kan kita mau beli batagor.”

Mana tega Renjun, membawa lelaki sebaik Jaemin masuk ke dalam keruh hidupnya. Dia pantas mendapat seluruh cinta dari dunia ini. Namun bukan dengan dirinya. Tapi, yang namanya Na Jaemin, teguh pendiriannya tak akan bisa Renjun bantah. Tenaganya tak cukup kuat untuk mendorong si Leo menjauh darinya.

Dia harus bersyukur atau apa?

Karena nyatanya, Na Jaemin begitu kukuh masuk ke dalam celah hidupnya.

“Halloo” Jaemin goyangkan tangannya di depan wajah orang yang masih bergulat dengan pikirannya itu. Tangannya kemudian ia bawa untuk menyentuh lembut kening si pemikir. Dia beri usapan sehalus sutra. Berharap kerut di dahi itu bisa lekas menghilang.

“Maaf ya, Jaemin.”

“Buat?”

“Ngga tau. Maaf aja”

Jaemin paham, ia tak bisa memaksa. Maka ia bentangkan kedua tangannya, “Mau peluk?” sejuta kalimat baik penuh makna yang keluar dari mulutnya mungkin tak akan cukup mengusir gundah si kecil. Jadi lebih baik ia coba cara lain. Badan yang terlihat rapuh itu masuk kedalam dekapannya. Menyamankan kepala penuh cerita itu di bahu tegapnya.

Ia beri usapan di sepanjang bahu dan punggungnya. Seolah mengatakan bahwa badan kecil ini begitu kuat karena sudah berjuang melawan garis takdirnya dengan sangat baik.

“Na Jaemin disini. Selalu. Kalaupun kamu lupa, ngga masalah. Aku bakal ngingetin terus. Biar kamu Huang Renjun, ngga akan ngerasa sendiri di dunia yang jahat ini.

Renjun, mau ya, aku temenin?”

Hari Minggu, Terry sama Amas beneran merealisasikan rencana mereka buat jalan-jalan ke bukit. Matahari bahkan belum sepenuhnya muncul, tapi Terry udah nongkrong ganteng di kamar Amas.

“Ter, ngk kepagian apa?” tanya Amas yang lagi benerin rambut sama bajunya di depan kaca. Karena belom juga dapet jawaban, dia tengok manusia yang tadi ada di atas kasur. Ternyata lagi senyum-senyum sambil ngeliatin dia. “Kenapa? Sakit? Bukannya di jawab malah senyum-senyum kaya orgil.”

Guling di dekapan Terry makin dia eratkan pelukannya, “Ya kenapa sih, orang ngeliatin pacar sendiri yang super cakep kok ngk boleh senyum.”

“Halah” Amas sih di mulut bilangnya halah , tapi liat tuh pipinya merah.


Jarak dari rumah ke bukit yang mau mereka tuju sebenernya cuma makan waktu satu setengah jam, lebih dikit kalo macet. Tapi jadi dua jam lebih buat Terry sama Amas gara-gara sarapan dulu plus cari camilan buat perjalanan.

Kencan kali ini Terry sengaja bawa mobil, soalnya biasanya Amas lebih suka pake motor. Terry mah seneng seneng aja pake motor, bisa dapet bonus peluk. Tapi kali ini dia nggak mau ambil resiko kalau-kalau Amasta nya capek trus besoknya nggak bisa belajar.

Kalian mau tau nggak sih, alasan kenapa Amas lebih suka Terry motoran dari pada pake mobil?

Soalnya Terry kelewatan kalo bawa mobil.

Kelewat ganteng Kelewat keren Kelewat semuanya Damage nya ngga ngotak, kalo kalian mau tau.

Di mata Amas, Terry jadi beda banget kalo udah pegang stir mobil. Apalagi tangan satunya buat pegangin tangan Amas. Sambil sesekali di cium jari-jari lentik dan lebih kecil miliknya.

Aduhh

Amas cuma bisa berdoa biar mereka bisa cepet sampai.


Beruntungnya mereka, walau di tempat wisata dan harinya hari Minggu, tapi keadaan sekitar masih belum terlalu ramai.

Tangan kiri Amas sembunyi di saku jaket Terry, dengan sebuah tangan hangat yang menyelimutinya.

Keduanya jalan menyusuri jalan setapak yang ada di tempat itu. Melihat pemandangan hijau di depan mata yang bikin Amas ngerasa tenang seketika. Memang ini yang Amas mau, kegiatan sederhana yang bisa bikin jiwa raganya damai.

Amas hidup udara segar buat ngisi paru-parunya. Matanya dia pejamkan. Genggaman tangan di balik saku Terry dia eratkan.

Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Seperti ngasi tanda kalau, entah, sesuatu kaya bakal terjadi.

Terry yang ada di sampingnya cuma diam dan mengamati. Gimana kesayangannya terlihat sangat menikmati kedamaian tempat ini, tanpa tau, kalau hati si cinta tiba-tiba jadi gundah gulana, tanpa sebab.

Puk puk

Bahu Terry di tepuk pelan.

“Terry? Beneran Terry kan? Ya ampun, udah lama ga ketemu, lo makin ganteng aja. Gue kangen anjir Ter sama lo, lo ga kangen gue.”

Amas hembuskan nafas, detakan jantungnya makin kencang.

Ah, jadi ini

Tiga pemuda dengan aura yang berbeda lagi sok bikin suasana di ruang tamu rumah Terry jadi sedikit mencekam. Terry yang sok garang, Amas yang sok tenang dan Robert yang sok kalem.

“Ekehm.. kenapa malah pada diem-dieman gini. Nih, diminum dulu susunya. Ada kue juga ini dimakan.”

Terry lihat mamanya pergi ninggalin mereka, ‘si mama ngerusak suasana aja’

Paha Terry di tepuk pelan sama Amas, dia kode lewat matanya biar cepet mulai pembicaraan. Terry berdehem, “Minum dulu deh, minum Rob.”

“Ini susu banget Ter?” “Lo mau susu gue Rob? “HEH!”

Amas cuma bisa mijit pelipisnya. Dia ambil susu di meja trus dia minum dengan tenang. Berharap bisa sedikit ngeredain pusing nya saat ini. Terry sama Robert ikut-ikutan.

“Robert, kalo udah siap langsung aja gapapa” Amas bawa tangan Terry buat di genggam. Satu tangan Terry di genggam kedua tangan Amas. Satu pegang jempol satunya lagi pegang kelingking. Gemes

Terry yang awalnya mau ngasi mereka berdua privasi buat ngobrol, jadi ga jadi. Permennya nggak mau ditinggal

Robert ancang-ancang, dia ambil nafas trus dibuang, “Gue ngk tau sih, cara ngomongnya mesti gimana. Sorry, kalo omongan gue kaya to the point banget, soalnya gue emang ngk pinter ngomong serius” Robert diam sebentar, mau lihat reaksi dua orang di depannya.

“Intinya, gue mau minta maaf. Gue tulus, bener-bener mau minta maaf. Hampir empat tahun ini tiap hari rasanya nyiksa banget. Tapi lo pasti lebih ya Ta? Gue minta maaf.

Gue bodoh, tolol banget gampang ke hasut omong orang. Tapi gue nggak mau nyalahin orang lain kok, gue cuma sadar aja betapa dongo nya gue saat itu.

Gue nyesel, nyesel banget. Gue—” suara Robert jadi rada tercekat di akhir.

“Gue kangen kalian. Kangen main bareng kalian. Kangen ke kemana-mana bareng kalian. Gue kangen temen-temen gue. Gue nyesel.” Robert nunduk, dia remas celana di atas pahanya.

“Gue minta maaf Amasta. Atas kesalahan gue waktu itu. Maaf, udah bikin luka di masa remaja lo. Maaf, buat trauma yang lo dapet dari gue. Gue minta maaf.” kalimat terakhir Robert, jadi awal jatuhnya air matanya. Dia tundukin kepalanya makin dalam, dengan air mata yang makin deres ngalir di pipinya. Perasaannya lega, dapat atau tidak ampunan dari Amas, yang penting dia udah tulus meminta maaf.

Pandangan Terry melembut sekarang, dia usap tangan Amas yang masih genggam tangannya. Perasaan lebih ringan, tidak mau munafik, dia juga sama rindunya.

“Robert, gue udah maafin lo dari lama. Tapi maaf ya, kalo buat lupa, gue rasa masih susah. Tapi gue bakal berusaha, biar kita bisa kaya dulu lagi—

Lo udahan nangisnya, gue mau peluk lo tapi masih males.” sebenernya bukannya beneran males, cuma rada takut dikit. Tapi dia ngk mau bikin Robert makin terpuruk kalo dia bilang dia masih takut.

“Gue paham. Makasih”

Hari ini selesai? Mungkin belum, tapi akan' kan?

Nanti ya, pelan-pelan.

“Jaem, udah pada kumpul semua belum. 5 menit lagi kita berangkat” “Udah bang, udah pada masuk bus malah. Pada kepanasan katanya”

Mark dan Jaemin, selaku ketua dan wakil dari organisasi konseling tingkat fakultas itu sedang menyiapkan anak-anak untuk bersiap pergi berlibur sebentar.

Ya, kegiatan kali ini sebenarnya tidak masuk ke dalam proker mereka. Hanya acara sederhana untuk mengeratkan tali persaudaraan antar pengurus dan anggota organisasi tersebut. Acara sederhana, karena memang hanya kegiatan menginap 2 hari 1 malam di vila yang mereka sewa secara patungan dengan tambahan uang kas.

“Temen-temen sama adik-adik, dengerin aku dulu ya. Jadi ini nanti perjalanannya sekitar hampir tiga jam, jadi kalo ada dari kalian yang ngerasa ngk enak badan atau perlu sesuatu bilang ke temennya atau ke kakak pengurus ya. Eh Hery jangan semprot semprot parfum!!”

Setelah selesai memberi sedikit arahan di depan tadi, Renjun kembali ke kursinya dan langsung di hadiahi senyuman lima jari dari teman sebangkunya. “Ngapain Jaem senyum-senyum, kek orang gila.” Renjun benarkan posisi duduknya, lalu menengok temannya yang sekarang malah cekikikan.

“Gapapa. Eh ga tau sih, cuma kenapa ya, liat muka kamu kalo lagi emosi gitu mesti lucu. Jangan galak-galak, ntar adek tingkat pada takut.” Renjun yang dengar itu lalu memiringkan tubuhnya, dahinya tampak berkerut, “Emang muka aku segalak itu Jaem?” bukan jawaban yang Renjun terima, tapi malah tawa Jaemin yang menggema di dalam bus bercampur ramai suara dari manusia lain penghuni bus mereka.


Rombongan yang berjumlah 34 orang itu telah sampai di tempat tujuan dengan aman dan selamat. Setiap insan mulai di sibukkan dengan kegiatan mereka masing-masing. Menit berganti jam, orang-orang mulai mempersilahkan tubuh mereka untuk beristirahat. Tak terkecuali Jaemin dan Renjun. Keduanya tidur bersebelahan, dengan alas tikar karena rupanya ada salah komunikasi antara korlap dan pemilik vila. Kamar nya ternyata tidak cukup. Dan disinilah mereka sekarang, 8 pengurus dan anggota laki-laki merelakan tubuhnya bercumbu dengan lantai dingin yang cuma terhalang tikar tipis.

Jaemin miringkan badannya ke kiri, tangan kirinya ia pakai sebagai alas kepala. Pemandangan di depannya membuat kantuk yang tadi menyerang mulai hilang.

‘Cantiknya’

Huang Renjun, teman se-organisasinya yang walau laki-laki, namun terlihat luar biasa cantik dan menawan. Matanya yang terpejam, hidungnya yang mancung dan kecil, bibir ranumnya yang—

Cukup, Jaemin memejamkan matanya. Menghalau semua pikiran gila yang hampir mempermainkan dirinya. Dia ubah posisi tidurnya jadi terlentang. Memaksakan diri agar ikut terlelap seperti yang lainnya. Dan berharap debaran di jantungnya segera mereda.


Sebuah suara membangun Jaemin dari tidurnya yang baru sebentar. Renjun terlihat berjalan keluar dari kamar. Pukul 2 pagi.

Jaemin paksa dirinya sendiri untuk bangun, dengan niat ingin ke kamar mandi sekaligus ingin tau apa yang Renjun akan lakukan di jam segini.

Jaemin meremas dadanya, rasa sakit itu tak kunjung reda. Ketika disini, ia duduk melihat ke arah mushola tempat biasa mereka menjalankan ibadah.

Dia lihat, Renjun, seseorang yang selama hampir 3 tahun telah berhasil mengacaukan hati dan pikirannya, sedang bersujud di hadapan Tuhan-Nya. Dengan bibir yang merapalkan doa-doa, ia begitu khusyuk dalam menghadap sang pencipta.

Matanya masih menatap Renjun dengan sendu, dia sentuh benda yang setiap saat merangkul lehernya, kalung salib itu dia pegang dengan kuat.

Ya Tuhan

Bolehkah ia menyebut nama-Nya. Ia merasa berdosa. Ia sadar dengan segala kesalahannya. Perasaannya. Semuanya.

Mengapa sesulit ini. Bukan dia yang menginginkan rasa ini datang padanya. Dia merasa sakit sendirian.

Bukankah segala yang ada di dunia ini terjadi atas kehendak-Nya? Lalu sebenarnya apa rencana Tuhan untuknya? Keadaannya saat ini begitu menyiksa jiwa dan raganya.

Ia dan Renjun, tak bisa bersama karena memiliki persamaan.

Ia dan Renjun, tak bisa bersama juga karena memiliki perbedaan.

Renjun melihat dirinya dari sebrang sana, tersenyum padanya dengan wajah yang berseri dengan air wudhu yang masih tersisa.

Begitu indah, dan menyakitkan secara bersamaan

Dia ikut paksakan senyum di bibirnya, menahan gejolak rasa sakit di bawah tangannya yang masih memegang kalung salib miliknya.

Ia genggam kalung itu, se erat bagaimana Renjun menggenggam tasbihnya.

“Jaem, udah pada kumpul semua belum. 5 menit lagi kita berangkat” “Udah bang, udah pada masuk bus malah. Pada kepanasan katanya”

Mark dan Jaemin, selaku ketua dan wakil dari organisasi konseling tingkat fakultas itu sedang menyiapkan anak-anak untuk bersiap pergi berlibur sebentar.

Ya, kegiatan kali ini sebenarnya tidak masuk ke dalam proker mereka. Hanya acara sederhana untuk mengeratkan tali persaudaraan antar pengurus dan anggota organisasi tersebut. Acara sederhana, karena memang hanya kegiatan menginap 2 hari 1 malam di vila yang mereka sewa secara patungan dengan tambahan uang kas.

“Temen-temen sama adik-adik, dengerin aku dulu ya. Jadi ini nanti perjalanannya sekitar hampir tiga jam, jadi kalo ada dari kalian yang ngerasa ngk enak badan atau perlu sesuatu bilang ke temennya atau ke kakak pengurus ya. Eh Hery jangan semprot semprot parfum!!”

Setelah selesai memberi sedikit arahan di depan tadi, Renjun kembali ke kursinya dan langsung di hadiahi senyuman lima jari dari teman sebangkunya. “Ngapain Jaem senyum-senyum, kek orang gila.” Renjun benarkan posisi duduknya, lalu menengok temannya yang sekarang malah cekikikan.

“Gapapa. Eh ga tau sih, cuma kenapa ya, liat muka kamu kalo lagi emosi gitu mesti lucu. Jangan galak-galak, ntar adek tingkat pada takut.” Renjun yang dengar itu lalu memiringkan tubuhnya, dahinya tampak berkerut, “Emang muka aku segalak itu Jaem?” bukan jawaban yang Renjun terima, tapi malah tawa Jaemin yang menggema di dalam bus bercampur ramai suara dari manusia lain penghuni bus mereka.


Rombongan yang berjumlah 34 orang itu telah sampai di tempat tujuan dengan aman dan selamat. Setiap insan mulai di sibukkan dengan kegiatan mereka masing-masing. Menit berganti jam, orang-orang mulai mempersilahkan tubuh mereka untuk beristirahat. Tak terkecuali Jaemin dan Renjun. Keduanya tidur bersebelahan, dengan alas tikar karena rupanya ada salah komunikasi antara korlap dan pemilik vila. Kamar nya ternyata tidak cukup. Dan disinilah mereka sekarang, 8 pengurus dan anggota laki-laki merelakan tubuhnya bercumbu dengan lantai dingin yang cuma terhalang tikar tipis.

Jaemin miringkan badannya ke kiri, tangan kirinya ia pakai sebagai alas kepala. Pemandangan di depannya membuat kantuk yang tadi menyerang mulai hilang.

‘Cantiknya’

Huang Renjun, teman se-organisasinya yang walau laki-laki, namun terlihat luar biasa cantik dan menawan. Matanya yang terpejam, hidungnya yang mancung dan kecil, bibir ranumnya yang—

Cukup, Jaemin memejamkan matanya. Menghalau semua pikiran gila yang hampir mempermainkan dirinya. Dia ubah posisi tidurnya jadi terlentang. Memaksakan diri agar ikut terlelap seperti yang lainnya. Dan berharap debaran di jantungnya segera mereda.


Sebuah suara membangun Jaemin dari tidurnya yang baru sebentar. Renjun terlihat berjalan keluar dari kamar. Pukul 2 pagi.

Jaemin paksa dirinya sendiri untuk bangun, dengan niat ingin ke kamar mandi sekaligus ingin tau apa yang Renjun akan lakukan di jam segini.

Jaemin meremas dadanya, rasa sakit itu tak kunjung reda. Ketika disini, ia duduk melihat ke arah mushola tempat biasa mereka menjalankan ibadah.

Dia lihat, Renjun, seseorang yang selama hampir 3 tahun telah berhasil mengacaukan hati dan pikirannya, sedang bersujud di hadapan Tuhan-Nya. Dengan bibir yang merapalkan doa-doa, ia begitu khusyuk dalam menghadap sang pencipta.

Matanya masih menatap Renjun dengan sendu, dia sentuh benda yang setiap saat merangkul lehernya, kalung salib itu dia pegang dengan kuat.

Ya Tuhan

Bolehkah ia menyebut nama-Nya. Ia merasa berdosa. Ia sadar dengan segala kesalahannya. Perasaannya. Semuanya.

Mengapa sesulit ini. Bukan dia yang menginginkan rasa ini datang padanya. Dia merasa sakit sendirian.

Bukankah segala yang ada di dunia ini terjadi atas kehendak-Nya? Lalu sebenarnya apa rencana Tuhan untuknya? Keadaannya saat ini begitu menyiksa jiwa dan raganya.

Ia dan Renjun, tak bisa bersama karena memiliki persamaan.

Ia dan Renjun, tak bisa bersama juga karena memiliki perbedaan.

Renjun melihat dirinya dari sebrang sana, tersenyum padanya dengan wajah yang berseri dengan air wudhu yang masih tersisa.

Begitu indah, dan menyakitkan secara bersamaan

Dia ikut paksakan senyum di bibirnya, menahan gejolak rasa sakit di bawah tangannya yang masih memegang kalung salib miliknya.

Ia genggam kalung itu, se erat bagaimana Renjun menggenggam tasbihnya.