Eluniccoo

Berisi flashback, dan penulisannya bakal beda dari narasi yang biasanya ya, kalo bosen maap yaa. selamat membaca Tw // almost raped

Amasta Guntur, seorang anak pindahan dari kota sebelah yang langsung terkenal dikalangan anak-anak sekolah barunya ini. Dia pindah saat menginjak kelas 5 SD, karena faktor pekerjaan orang tuanya. Dibalik parasnya yang cantik dan manis— untuk ukuran laki-laki, dia juga pintar dan humble. Dia bahkan masuk kelas unggulan, kelas 5A, dan langsung bergabung dengan 3 orang anak terkenal di SD itu. Terry Abraham, Zeeno Lexy, dan Robert Pramudya.

Ketiga anak itu sudah berteman sejak mereka masih memakai popok, tentu saja, karena mereka tinggal di satu komplek yang sama. Dan masuk di sekolah dasar yang sama juga. Semuanya berjalan biasa biasa saja, normal, seperti hari-hari sebelumnya, bagi mereka. Cuma kali ini, ada anak manis yang ikut bergabung bersama mereka.

Amasta tentu senang, karena tidak seperti pemikirannya yang ia kira mungkin akan sulit baginya mendapatkan teman, nyatanya malah sebaiknya. Dia nyaman berteman dengan Terry dan yang lainnya.

Sampai, cinta monyet itu datang.

Amas menaruh rasa pada Terry.

Tapi dia diam

Dia pikir anak SD sepertinya belum waktunya bermain dengan perasaan seperti itu. Walau nyatanya banyak juga anak-anak SD yang sudah mulai berpacaran. Tapi dia tidak mau.

Terry anak yang ceria, baik, murah senyum, dan siapapun yang ada di dekatnya akan merasa nyaman. Jadi tidak heran kan, kalau Amas menaruh rasa?

Waktu berlalu, dan masa SMP sudah ada di depan mata. Terry, Amas, dan Robert memutuskan untuk berada di satu SMP yang sama. Sedangkan Zeeno berada di SMP yang berbeda dengan ketiga kawannya.

Hampir tiga tahun berteman, rupanya bukan cuma Amas saja yang hatinya muncul benih-benih asmara remaja. Diam-diam Terry juga sudah menaruh rasa pada Amas. Dan Robert dengan terang-terangan menyatakan rasa sukanya pada orang yang sama, Amasta.

Alasan Robert yang transparan dengan perasaannya, adalah karena dia tau, kalau Terry juga menaruh rasa pada orang yang sama. Kala itu dia ingin egois. Dan Terry yang tidak mau pertemanannya hancur cuma gara-gara cinta monyet ini, memilih mudur dan memasang topeng terbaiknya. Berpura-pura semuanya baik-baik saja. Tanpa tau, kalau ada hati kecil seseorang yang tercubit karenanya.

Kelas 11, Robert menyatakan rasa sukanya pada Amas, disaksikan Terry dan Zeeno, dan berakhir dengan penolakan.

Awalnya dia mencoba baik-baik saja, menerima alasan yang Amas berikan. Tetapi, semuanya berubah menjadi amarah, setelah tanpa sengaja ia lihat, tatapan mata Amas yang melihat Terry dengan pandangan berbeda. Ada yang salah di sini, dan dia sadar itu.

Robert tidak terima, Terry selalu jadi yang pertama dan utama.

Untuk kali ini dia tidak mau di belakang lagi.

Setiap manusia pasti punya topeng. Termasuk Robert. Dia gunakan topeng nya untuk menghasut Terry agar membantunya mendapatkan Amas. Terry sejujurnya ragu, bukankah yang namanya perasaan itu tidak bisa di paksakan? Tapi yang namanya Terry, dia lakukan apapun untuk temannya.

Temannya sedari kecil.

Dan Amasta sadar itu. Dia tidak sebodoh itu. Rasa sukanya pada Terry membuatnya jadi sering memperhatikannya. Dia jadi sedikit demi sedikit menjauh dari Robert, dengan harapan dia bisa menghentikannya untuk memperalat temannya sendiri, demi dirinya.

Robert semakin marah. Pikirannya jadi jahat. Apalagi setelah ia bertemu dengan kawan-kawan barunya, anggota geng motor dan hobi tawuran.

Dia buat rencana. Menjatuhkan harga dirinya dengan memohon pada Terry agar Amas mau berkencan dengannya malam ini, hanya malam ini. Malam hancurnya pertemanan mereka.

Terry dengan rasa tidak enak hatinya juga menelan rasa pahit. Dengan berat hati, dia datangi rumah Amas, dan menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan. Karena Terry yang meminta, Amas bisa apa.

Sabtu malam itu, Amas di bawa Robert ke tongkrongan teman barunya. Sebuah rumah milik salah seorang dari mereka yang dijadikan markas, karena orang tuanya yang tidak ikut tinggal di sana.

Dengan hati bergetar dan perut yang entah kenapa terasa mual, Amas jejakan kakinya di sana. Dia liat, anak-anak remaja yang berpencar di berbagai tempat di rumah itu. Dengan minuman memabukkan di tangan, atau rokok yang tersemat di bibir. Keringat mulai muncul di dahinya. Amas takut.

Dia memohon pada Robert untuk pulang, atau sekiranya pergi dari tempat ini. Tapi yang ia dapat malah bentakan, menyuruhnya untuk diam dan ikuti saja dirinya.

Dengan sisa kesadarannya, dia tekan ponselnya menghubungi nomor seseorang. Membiarkan panggilan itu tetap hidup di saku celananya. Sementara ia berjalan mengikuti kemanapun Robert berjalan.

Sebuah botol berisi air mineral Robert berikan padanya. Tutupnya masih tersegel. Membuat Amas menurunkan kewaspadaannya. Satu teguk, dua teguk, air itu mengalir melewati kerongkongannya.

Tak selang berapa lama badannya mulai terasa panas. Dia sadar di jebak. Dan Amas mulai panik. Sekuat tenaga dia tahan dirinya. Berdoa dalam hati memohon pertolongan. Dia remas tangannya sendiri dengan kuat. Dinding mulutnya dia gigit dengan kuat. Air matanya jatuh.

Harapannya satu-satunya adalah ponsel yang ada di sakunya, dan semoga seseorang itu mendengar rintihannya.

Badannya lemas, air mata tak kunjung reda. Dia tatap temannya, Robert, yang sudah melepaskan jaket dan kaos milik Amas, sekarang berada di atasnya. Nama Tuhan, mama papa, dan Terry tak lepas dari doanya.

Kesadarannya samar-samar. Tapi dia masih bisa merasakan puluhan pasang mata sedang menatap dirinya. Ia malu, dan sangat ketakutan. Lehernya mulai terjamah. Tangisnya semakin deras kala tubuhnya tak bisa melawan.

Matanya mulai terpejam. Sampai seseorang memeluk erat tubuh lemas nya. Memasanginya dengan jaket dan berbisik ribuan maaf di telinganya. Bau parfum ini.

Cinta nya. Terry disini.

Badannya ia ikhlaskan untuk melemas. Karena sudah ada Terry nya disini.

Hampir dia pikir malam ini ia akan kehilangan masa remajanya. Rupanya Tuhan masih mau mendengarkan sedikit doanya. Dia kiriman syukur sebanyak-banyaknya atas keselamatannya kali ini.

Dia bersyukur, karena Tuhan mengirimkan Terry untuknya.

cw // kissing, di akhir agak 18+

Terry buka pintu kamarnya, dan di susul Amas di belakang. Kalo kalian mikir kamar cowok biasanya berantakan, itu ngga berlaku buat Terry. Soalnya kamar dia lebih dari yang namanya berantakan. Alias hancur.

Amas waktu masuk ke kamar Terry dan liat kondisi kamarnya, jangan harap bakal kaget, dia biasa aja. Ya gimana, bukan sekali dua kali juga dia mampir ke kamar ini. Dan kalo udah gini, dia yang bakal beresin.

Amas taruh dua tas yang dia bawa di dekat pintu. Trus jalan ke arah Terry yang lagi mainin hp nya yang lagi di cas. Dua lengannya dia kalungkan di leher Terry.

“Mau permen dari gue ngk Ter?”

Terry yang dapet serangan tiba-tiba itu rada kaget. Hp nya yang tadi dia pegang di lepas gitu aja, dan langsung narik pinggang Amas buat lebih deket. Senyum Pepsodent dia berikan.

“Mau”

Habis denger jawaban Terry, pelukannya Amas lepas. “Beresin dulu ini kamar. Kalo udah beres baru gue kasih permen.”

Terry cemberut. Dan Amas langsung aja beresin barang-barang yang— ngk tau lagi deh, berantakan. Untungnya kamar Terry luas dan wangi. Jadi masih mending deh.

Selesai beres-beres, dua anak adam itu tiduran terlentang di atas kasur. Terry miringkan badannya biar bisa liat si kecil. Kepalanya dia tumpu pake tangan. “Kenapa Ta, kok tiba-tiba pengen ke sini?”

Amas benerin posisinya. Keduanya tangannya dia pake buat bantal kepala. “Gapapa, pengen aja”

“Kangen?”

“Udah lama ngk kesini”

“Kangen?”

“Tadi di sekolah lo sibuk banget”

“Kangen gue?”

“Bacot”

Terry ketawa keceng. Dia sampe gulingin badannya, trus bangun buat duduk. Dengan sisa ketawa yang masih ada, dia liat pacarannya yang malingin wajahnya itu ke samping, sambil bibirnya—yang kayanya dia ngk sadar udah manyun.

“Gemes banget si ya ampun”

Terry bawa badannya buat meluk perut Amas. Dan, wajahnya dia bawa ke ketiaknya Amas, trus dia dusel duselin wajahnya di situ.

“TERRY!!” Amas jelas kaget, dan..geli.

“Lo ngapain anjir Ter, minggir ngk! Geli!” teriakan Amas dan dorongan tangan di wajahnya ngk dia gubris, dan malah pelukannya makin dia eratkan. Amas ambil nafas kasar. Terserah deh.

Dirasa Amas udah tenang, Terry bilang, “Kok ketek lo wangi sih Ta, ngk bau acem.”

Amas yang denger itu pengen muterin bola matanya. “Ya di rawat lah dodol. Emang punya lo, bau acem.”

“Dih, sok tau. Punya gue juga wangi tau.” Terry makin duselin wajahnya. Udah kaya bayi dia. Tangan kanan Amas akhirnya di pake buat elus kepala yang ada di ketiaknya itu.

Ah

Terry inget sesuatu.

Dia angkat wajahnya, dan badannya dia tumpu pake kedua tangannya di sekitar badan Amas. “Kamarnya udah beres. Permen gue mana?” Amas liat wajah Terry yang ada di atasnya. Jaraknya ngk terlalu jauh. Dia ragu, mesti di kasi permen beneran atau—

Akhirnya, tangannya di bawa buat pegang wajah Terry. Tangan kirinya dia rambatkan ke belakang kepala si pacar. Dan satunya lagi dia pake buat rapiin rambut depan Terry yang mulai panjang. Matanya dia pejamkan. Terry yang liat itu tanpa pikir panjang langsung dekatkan wajahnya. Matanya masih terbuka.

Cup

Dua bibir beda tuan itu akhirnya bertemu. Kalo biasanya mereka cuma main kecup kecupan. Kali ini rasanya, sedikit, lebih intim.

Terry tekan lama bibirnya disana. Sambil dia rasakan elusan di belakang kepalanya. Bibirnya dia buka, dia beri lumatan lembut di bibir bawah sang pacar. Beberapa kali, sambi lidahnya dia mainkan buat merasa rasa manis permennya .

Sampai bibir Amas ikut terbuka, dan dia terima lidah hangat yang mulai masuk ke dalam mulutnya. Mengajaknya berkenalan dengan lidah miliknya. Saling bertegur sapa sambil mengelilingi ruang hangat itu.

Badan Terry dia turunkan sedikit, ngk sampai menindih kekasih, biar kegiatan memakan permennya ini bisa dia lakukan dengan lebih leluasa.

Ciuman yang diawali dengan lembut dan pelan ini berubah jadi lebih agak terburu-buru. Bibir keduanya saling bersautan. Sesekali suara erangan keluar dari mulut keduanya.

Sampai-sampai guyuran hujan di luar sana ngk mereka dengar.

Tautan bibir mereka baru terlepas setelah Terry tanpa sengaja mengigit bibir bawah Amas. “Aargh”

“Sakit Ter.” Amas kulum bibir bawahnya. Wajahnya memerah waktu rasa lembab akibat ulah pacarnya itu dia rasa. “Maaf.”

Bibir bawah Amas dia usap. Trus dia kasi kecupan singkat.

“Udah kan permennya” ucap Amas, dan dibalas ketawa kecil sama Terry. “Iya udah. Makasih ya.”

Terry baringkan badannya, trus dia bawa Amas biar bisa dia peluk. Pikiran keduanya lagi jalan masing-masing. Dan bikin suasana tenang sejenak. Sampai Amas buka suara, “Ter, lulus nanti mau lanjut di mana? Di dalem apa di luar?”

Terry diem sebentar, “Enak di dalem kayanya”

“Kenapa?”

“Anget ngk sih.”

Pikiran Amas masih mencoba mencerna ucapan Terry. Dan—

“AAAARRGGGHHH” punggung Terry dia cubit, kenceng. Habis itu dia bangun buat ambil bantal trus dia pukul Terry dengan tenaganya yang masih tersisa.

Indahnya masa muda, bikin yang baca iri aja

Bukan Sabtu malam atau malam Minggu, tapi Kamis malam atau malam Jum'at.

Yak, pasangan baru kasmaran ini sekarang udah ada di posisi ternyaman mereka di atas motor. Terry bawa sepeda motornya dengan perasaan riang gembira dan senyum lebar, karena ada dua lengan yang peluk perutnya dengan erat. Yang di belakang sebenernya ngk kalah seneng, cuma ya yang namanya bocah tsundere, sukanya malu-malu kambing padahal hatinya lagi party.

“Mau kemana sih, Ter?” daripada diem-dieman, akhirnya Amas buka suara duluan. Lucu sebenernya, mereka yang dulunya suka adu bacot kalo boncengan, sekarang malah kaya dua orang asing yang baru kenalan tadi sore.

Terry pelanin gas motornya, Amas dekatkan wajahnya ke sisi kanannya Terry, “Mau makan aja sih, depan taman deket perpustakaan kota ada nasi goreng enak. Udah pernah coba belom?”

“Belom. Nasi goreng emperan?” “Iya. Gapapa kan?” “Gapapa anjir Ter, lo kek sama siapa aja” “Pacar, kan.”

Amas diem. Trus mundurin lagi wajahnya. Sial, kalo siang pasti senja yang muncul di wajahnya jadi keliatan. Sedangkan yang di depan senyumnya makin lebar, tanpa yang belakang tau, kalau muka malunya keliatan dari spion yang sengaja Terry buat biar dia bisa liat penumpang dibelakangnya.

Nasi goreng gila

Oke, dari namanya udah bikin Amas penasaran. Jujur, dia ini orang yang jarang jajan. Lebih suka di rumah baca novel atau nonton. Jadi kalo ada yang ngajak hunting makanan dia ayo ayo aja.

Dua porsi nasi goreng gila dan dua teh hangat udah tersaji di depan mereka. Dan langsung di icip sama keduanya setelah berdoa.

Terry yang udah selesai duluan, minggirin piring sama gelasnya ke samping. Trus wajahnya dia tumpu pakai tangan kanannya, merhatiin Amas yang masih berusaha buat ngehabisin sisa nasi di piring nya.

“Habis ini mau jalan-jalan bentar ngga, ke taman?” Terry tanya, sambil tangan kirinya ngelap kringet di pelipisnya Amas. Dan di jawab anggukan sama yang lebih kecil.

Disinilah mereka sekarang, duduk di kursi taman, yang di depannya ada puluhan lampu warna-warni dan beberapa mainan buat anak-anak. Duduk rapet, seolah bangku cuma selebar daun kelor.

Terry berdehem, trus tanya, “Dingin ngga kamu?”

Kamu

Dua-duanya langsung memalingkan wajahnya. Yang satu ke kanan satunya lagi ke kiri.

Amas nyubitin jari-jarinya sendiri. Dalam hati udah ngumpatin mulut lemesnya Terry.

Dan Terry, dia nutup mulutnya trus di elus-elus.

Ya ampun

“Ngga dingin kok, kan badan lo—kamu, nempel sama gue—aku.” suara Amas makin pelan di akhir. Sekarang gantian dia yang ngusap mulutnya sendiri. Wajahnya masih liat ke samping.

Terry tarik nafasnya, “Udah ah Ta, kenapa jadi malu-malu gini sih”

“Ya lo duluan” “Ngga ya gue biasa aja” “Tai”

Habis bilang itu bibir Amas di cium Terry. Tangan kanannya dia bawa ke sisi kiri badannya Amas. Bibir Amas dia kecup kecup. Ngga sampe ngelumat, cuma dia sempet jilat dikit tadi.

Dia mundurin wajahnya, ngga sampe 10cm, trus bilang, “Bibir kamu manis, kayanya lebih manis lagi kalo ngomong nya yang manis juga.”

Sekarang Terry bisa liat jelas senja nya Amas.

Dengan perasaan campur aduk kaya gado-gado , Terry jalan ke rumah Zeeno, temen sekaligus tetangganya. Selagi jalan, pikirannya lagi-lagi ngerancang skenario yang bakal buat dirinya sendiri jadi overthinking .

Terry atur nafasnya, ngk tau lah. Mau pasrah aja. Capek banget di kerjain pikirannya sendiri.

“Jan bengong oy, kesambet ngk jadi ketemu ayang lo” “Bacot.”

Rupanya Zeeno udah standby di atas motor depan rumah dia. “Sialan, tau lo dah siap gini ngapain musti gue yang nyamper sih setan.” Terry ambil helm yang ada di jok belakang trus dia pake, habis itu dia duduk dengan cara loncat yang bikin Zeeno dan motornya hampir oleng.

“Anjing. Gadir banget lo jadi manusia. Gue doain si Amas khilaf doang mampus lo.” kepala Zeeno di pukul dari belakang, “Pagi pagi lo kalo ngomong yang bener. Dah jalan.”

Selama di perjalanan, dua-duanya sama-sama diam. Terry yang lagi nyusun kata-kata buat nanti kalo ketemu Amas. Dan Zeeno yang lagi mikir di kantin ada sarapan apa. “Zen”

“Hm?” “Gue mules deg-degan” “ppfttt

Terry yang denger sekilas temennya mau ketawa itu cuma bisa pasrah. Serius, dia nggak ada tenaga sekarang. Loyo

“Santai kali Ter, lo kalo kaya gini di ketawain asli sama Amas” omongan Zeeno nggak ditanggapi Terry. Iya juga, dia mikir, bisa ilang image keren, tampan, dan berani si lelaki pujaan hati semua orang ini. Halah

Sampai di parkiran, si gemes udah duduk di salah satu motor di sana. Terry yang udah janji sama dirinya sendiri tadi buat jadi kalem nyatanya cuma sekedar janji. Nyalinya tiba-tiba menguap. Deg-degan banget.

Terry yang masih diem di samping motor Zeeno, tiba-tiba ngerasa ada nafas hangat di depan mukanya.

‘BANGSAT’

Amas sekarang emang lagi ada di depan Terry. Berusaha buat nyopot helm yang sekarang lagi cowok jangkung itu pakai.

“Lo kaya orang bego sumpah, Ter”

Terry kedip beberapa kali. Sampai pinggang orang di depannya dia tarik trus di peluk. Helmnya udah lepas, dan ada di tangan kanannya Amas. Terry taruh mukanya di leher Amas. Nafas di sana. Dia hirup aroma tubuh yang bercampur dengan parfum milik Amas. Dia rasakan elusan di kepalanya. Pelukannya dia eratkan.

“Lo kayanya ngk bisa di ajak ngobrol sekarang deh, Ter” Terry mendengus, “Emang iya”

“Nanti aja ya, pulang sekolah. Gue kerumah lo” “Lo kan ngk bawa motor” “Pake motor lo cekep.”

Pelukannya Terry lepas, trus dia rapikan poni cowok manis di depannya.

“Yuk, ke kelas”

—|—

Kayanya baru tadi malam Terry ada di kamar ini, sorenya dia udah ada di sini lagi. Terry dan Amas duduk di bawah, bersandar pada ranjang di belakangnya. Bahu keduanya nempel banget. Seolah ada magnetnya.

“Ter, mau minum apa?” “Kalo ngomong dulu gimana? Apa lo haus?” “Ngga juga sih, ya udah ngomong dulu.”

Terry rubah posisi duduk nya, jadi menghadap lawan bicaranya. Dengkul si lawan dia tarik, sampai hampir menindih dengkulnya sendiri.

“Amas ayo pacaran sama gue gue suka sama lo dari lama” kalimat tadi Terry ucapkan dengan sekali tarikan nafas. Amas memalingkan wajahnya, bibir bawahnya dia gigit. Gemes banget

Amas berdehem, “Iya ayo”

“HAH!” “Kanapa?” “Kok gampang?”

Kali ini Amas ketawa, dia pegang kedua pipi Terry. “Emang harusnya gimana Ery? Gue nolak lo? Maki-maki lo? Apa mau lo gimana?” tangan yang lebih kecil itu Terry biarkan di sana.

“Lo ngga marah sama gue? Soal yang dulu?” “Ngga, gue ngk marah. Kecewa ada, tapi cuma sekedar itu. Selebihnya, I love you, too.

Terry tundukan mukanya sambi ketawa. Sialan, dia beneran dikerjai sama pikirannya sendiri. Oke, buat masalah satu itu, kali dia ini biarkan dulu berlalu. Satu pertanyaan lagi. Tapi nanti aja deh, takut di amuk kalo dia tanya sekarang. Baru tadi dia sadar kalo dia dikerjai sama pikirannya sendiri, tapi lihat sekarang.

“Jadi— Kita pacaran kan sekarang?” Terry tanya pelan-pelan. Amas senyum, trus dia anggukan kepala, “Iya Terry. Ini kepala—

Amas usap kepala temen yang sekarang jadi pacar itu,

Jangan di pake buat mikir yang aneh-aneh lagi. Kalo lo rasa udah berat, bagi ke gue biar gue bantu bawain.”

Anjir anjir anjirr anjir

Makin mleyot aja si Terry.

“Tata” “Apa?” “Boleh minta sun ?”

Si anying, baru juga jadian

Amas kerutin dahinya, “Sun? Bubur bayi?”, yang di tanya cuma natap jengah. “Ngga deh, ngk jadi.”

Habis itu kepala Terry di tarik, trus dia rasa bibir nya ada sesuatu yang menempel. Lembut, badannya serasa kesetrum.

“Sun kecil aja. Jangan minta yang aneh-aneh dulu.”

“Rehan. Nak, bangun” “Ayo mandi siap-siap, bentar lagi tamunya dateng.”

Rehan mengerang karena tidurnya terusik. Rehan baru bisa terlelap jam 4 pagi tadi, dan sekarang jam— Rehan lihat jam dinding— jam 8 lebih sedikit dan dia sudah dibangunkan. “Apa sih mah, Rehan ngk ada jadwal hari ini. Mau kerja rodi ngelarin revisian, besok aja bangunnya.” ucap Rehan masih dengan setengah nyawanya.

“Halah ngomong apa kamu. Ayo cepet.” dengan sekuat tenaga mama Wendi tarik tangan Rehan supaya bangun. Lalu di bawa badan anaknya itu ke kamar mandi. Mama ambil air di tangan trus di usap ke wajah Rehan. “Iya iya mah, udah, ini Rehan mandi.”

15 menit di habiskan Rehan di kamar mandi. Lalu bergegas memakai pakaian yang ternyata sudah di siapkan mama nya. Dia baru ingat, kalo semalam Juju bilang katanya mau datang hari ini.

Perutnya tiba-tiba terasa mulas.

Rehan turun tangga menuju ruang tamu dengan wajah sedikit tegang. Di tangga terakhir dia liat, sudah ada Jupri serta kedua orangtuanya sedang berbincang-bincang dengan papa dan kakak-kakak nya.

Rehan telan ludah nya dengan susah payah, tangannya yang basah karena keringat dia remas. Dia hembuskan nafas sekali, lalu bergabung dengan mereka.

“Pa, Ma, maaf Rehan dateng lama” ‘ngomong apa gue buset’

“Ga papa, sini nak, duduk sebelah mama aja, udah sering kan duduk sebelah Juju.” mama Yona menarik pelan tangan Rehan yang masih berdiri di samping kursi papanya. Yang di tarik tangannya cuma cengengesan. Dan Jupri yang melihat gimana gugupnya Rehan cuma bisa senyum ganteng. ‘gemes banget calon’

“Rehan ya begini tante, kalo paginya ngk ada kegiatan pasti bangun nya siang.” Lukas membuka percakapan pertama setelah Rehan duduk.

“Ngk ya mas Lukas sok tau.” padahal aslinya memang benar.

“Berarti, kamu nya ngk inget ya kalo pagi ini aku mau ke rumah kamu?” Jupri ikut-ikutan menggoda Rehan.

“Inget kok, cuma alarm nya ternyata ngk hidup. Jadi aku nya kesiangan.” Bohong.

Mama Wendi datang dari arah dapur, meletakkan nampan berisi minuman dan ikut mengomentari ucapan Rehan, “Mana ada alarm, ngk bisa tidur kan kamu semalam.”

“Ya ampun ini kenapa pada godain Rehan semua sih.”

Puas menggoda Rehan, dua keluarga itu melanjutkan dengan obrolan-obrolan ringan, dan di lanjutkan dengan sarapan bersama.

“Papa, Mama, semuanya. Silakan duluan aja sarapannya, Juju mau pinjem Rehan nya sebentar.” setelah mendapat persetujuan, Jupri segera membawa Rehan ke belakang rumah. Tempat di mana mama papa nya menanam berbagai tanaman hias. Ada 1 bangku panjang yang terletak agak jauh dari pintu belakang.

Rehan melirik tangannya yang masih ada di genggaman Jupri. Jujur, Rehan amat sangat gugup sekarang. Dia bahkan kesulitan untuk sekedar mengucap tanya kenapa mereka ada di sini.

“Kamu kenapa tegang banget gitu sih, sayang.” Jupri lepaskan genggamannya, lalu membuka bungkus roti yang tadi sempat ia ambil. Dia usap bibir Rehan degan jempol kanannya, “Kamu ngk sakit kan? Keliatan agak pucet gini.” Yang di tanya cuma bisa diam. Lalu jempol yang tadi mengusap bibirnya dia ambil,

“Ada apa deh kamu, jangan bikin anak orang penasaran ah. Ngk kasihan kamu, ini udah pucet gini.” ucap Rehan dengan nada sedikit merajuk.

“Ya kamu nya gemes banget, pengen aku gigit.”

“Ngga ada gigit gigit. Ayo sekarang jelasin ada apa. Aku nya udah penasaran pake banget.”

Roti yang sudah ada di tangan Jupri itu dia arahkan ke mulut Rehan, dia ketuk ketuk mulut pacarnya itu dengan roti, “Ayo buka dulu mulut nya, makan rotinya dulu, nanti baru nasi

—trus kalo rotinya udah habis, kamu minum susu baru kita ngobrol lagi.”

Ngga tau lagi. Rehan udah pasrah. Dia turuti semua kemauan Jupri dengan taat. Sampai roti dan susu yang di bawa Jupri tadi habis.

“Udah siap?” dan di balas anggukan kepala oleh Rehan.

Jupri ambil sesuatu dari dalam saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru tua. Dia buka kotak itu, lalu dia arahkan ke Rehan. Tangan kanan Rehan dia ambil. Lalu dia usap dengan sayang.

“Sayang nya Juju, kamu tau ini apa? Iya, sebagai kecil dari bukti cinta aku ke kamu. Kaya yang aku bilang ke kamu semalam. Aku serius. Ngga ada keraguan sedikitpun tentang perasaan cinta aku ke kamu

Rehan, mungkin aku bukan orang yang paling baik, bukan orang yang paling sabar, bukan juga orang yang sempurna. Aku juga banyak kekurangannya, masih banyak yang harus aku benahi dari diriku sendiri.

Aku minta maaf, kalo selama ini kamu sama aku, aku masih bikin kamu sedih, bikin kamu marah, atau hal buruk lainnya.

Rehan, aku udah mempertimbangkan segala hal yang mungkin aja terjadi. Bermunajat pada Tuhan untuk menentukan pilihan yang paling tepat. Berkali-kali juga aku tanya pada hatiku sendiri. Sudah tepatkah pilihanku? Dan berkali-kali pula jawabanku tetap sama, yaitu kamu. Rehan Bimana, kasihku, Will you marry me ?”

Dan Rehan sudah tidak bisa menahannya lagi, air matanya jatuh. Badannya gemetar. Dengan semua tenaga yang tersisa,

Dia menganggukkan kepalanya. “ I love you. Juviar Aripta

Mungkin, jawaban dari Rehan kekasihnya ini, tidak luput dari doanya yang ikut bertarung di langit

cw // kecup kecup, keju, cringe

Sesuai kesepakatan kemarin, Jupri sudah sampai di rumah Rehan pada pukul setengah lima pagi. Rajin sekali. Gerbang dan pintu rumah sudah terbuka lebar menyambut Jupri. Karena kemarin, dengan penuh sopan santun Jupri mengubungi ibunda Rehan untuk meminta izin untuk datang pagi buta menjemput Rehan.

“Selamat pagi ma, maaf ya Juju ganggu pagi buta begini.” Jupri lepas kan tangan mama Wendi setelah memberi salam dan mencium punggung tangannya.

“Engga dong ganteng, mama emang biasa bangun jam segini. Ayo duduk dulu, Rehan nya udah bangun kok, tinggal siap-siap dikit lagi katanya.”

“Oiya, udah sarapan belum? Kalo belum sarapan dulu ya di sini, mama udah masak nasi goreng. Biar kalian ngk perlu berhenti buat sarapan di jalan.” lanjut mama Wendi.

Setelah memberi persetujuan untuk tawaran sarapannya, tak lama Rehan turun. Keduanya sarapan dengan cepat namun tak tergesa, lalu segera pamit untuk melakukan perjalanan. Tujuan mereka adalah sebuah desa yang terletak di pinggir kota. Meski begitu, suasana di desa tersebut masih asri dan alami. Banyak pohon-pohon di sepanjang jalan mendekati desa tersebut. Perbukitan tempat masyarakat menanam hasil bumi juga terlihat rindang dan hijau.

“Juju, plastik apa itu di belakang? Baru liat” “Jajan buat kamu.” walau Jupri menjawab tanpa menolehkan kepala, tapi senyum manis nya tertangkap mata rubah Rehan.

“Banyak banget buset, kaya mau piknik se-rt aja, padahal cuma berdua. Nggak bakal habis kayanya.” ujar Rehan sambil mengintip sedikit isi salah satu plastik putih itu.

Dua jam berlalu, dan pasangan love bird itu sudah sampai di tempat tujuan.

Rehan menarik nafas dalam-dalam. Menghirup udara segar yang tidak mungkin ia dapatkan di kota. “Ya ampun yang, ini seger banget.”

Jupri mendekat ke arah Rehan, dia gosokkan kedua tangannya sampai terasa hangat, lalu dia taruh di kedua pipi Rehan, “Rehan suka?” jempolnya di usap usap pelan.

“Suka banget. Makasih ya Juju nya Rehan.” Rehan lingkaran lengannya di pinggang Jupri. Dia lihat netra yang menatapnya penuh puja itu. Pipinya semakin menghangat. Lalu sebuah kecupan mampir di hidungnya yang dingin.

“Kembali kasih, Rehan nya Juju.”

Bermenit-menit mereka habiskan dengan berjalan menyusuri desa tersebut. Tak jarang mereka berpapasan dengan warga lokal dan saling menyapa. Berhubung hari ini hari minggu, anak-anak terlihat berkumpul di lapangan di pinggir desa untuk bermain-main. “Aha, aku ngerti sekarang kenapa kamu beli banyak jajanan, hm, Juviar.” Rehan melirik Jupri sambil tersenyum lebar. Lalu berlari kecil meninggalkan Jupri menuju tempat anak-anak itu berkumpul.

Hati Jupri berdesir, karena rasa kasmaran yang tak kunjung usai. Dia gigit bibir bawahnya menahan senyum. Dia bahagia, namun tak mau terlalu jemawa dengan rasa bahagianya. Ya karena dia tau, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik kan .

Jajanan yang begitu banyak tadi Rehan bagikan dengan anak-anak di sana. Beberapa waktu mereka habiskan dengan bermain. Lalu sisanya di teruskan untuk berjalan-jalan. Sampai waktu meminta mereka untuk kembali pulang.

Jupri matikan mesin mobilnya di depan rumah Rehan. Langit sudah berubah gelap, dan di gantikan lampu lampu komplek yang sedikit remang.

Seat belt Rehan lepas dan dia miringkan tubuhnya menghadap Jupri. “Juju, makasih ya hari ini, Rehan seneng banget.” dia ambil jari telunjuk Jupri dan digenggam. Tangan kanannya Jupri yang menganggur dia pakai untuk mengusap pipi Rehan yang tidak akan pernah bosan ia sentuh. Karena hangat dan lembut

“Syukur deh kalo Rehan seneng, Juju nya juga jadi ikutan seneng” “Lain kali Juju minta sesuatu dong ke Rehan. Biar ngk Rehan terus yang minta apa-apa ke Juju”

Jupri tertawa pelan, “Kaya apa aja kamu. Aku malah seneng kalo kamu bisa terbuka sama apa yang kamu mau ke aku. Serius deh Rehan, bahagianya kamu juga bahagianya aku. Jadi kamu jangan merasa terbebani atau ragu kalo mau minta sesuatu, ya.” lembutnya usapan Jupri membuat Rehan memejamkan matanya. “Iya, Juju sayang”

Rehan membuka matanya, “Kalo hari ini Rehan minta satu hal lagi, boleh?” “Boleh” jawab Jupri tanpa ragu.

“Rehan minta kiss kecil”

Jupri terkekeh, pacarnya ini beneran lucu sekali. Jantungnya berdetak kencang lagi. Lalu dengan pelan dia dekatkan wajahnya. Dia usap bibir Rehan dengan jempolnya pelan. Dan kedua bibir beda tuan itu pun bertemu.

Jupri berikan kecupan kecupan ringan dan lembut beberapa kali. Lalu dia biarkan bibirnya menempel lama di sana. Tak ada nafsu, hanya perasan cinta yang lagi-lagi mendominasi, dan Jupri syukuri itu. Satu kecupan lagi, dan dia jauhkan sedikit wajahnya.

“Juju sayang Rehan” Rehan buka kedua matanya dan tersenyum, “Rehan sayang Juju juga.”

tok tok tok

“Ciuman kalian kayanya enak, boleh gabung ngk?”

Setelah menerima pesan dari sang pacar, Rehan mengangkat bokongnya meninggalkan kursi yang ia duduki di depan ruang dosen. Rencananya ia akan menunggu pacarnya itu di taman fakultas, yang tidak jauh dari parkiran. Sebelum sampai ke tempat tujuan, Rehan mampir sebentar ke toilet untuk mengecek kembali penampilannya. Takut ia kelihatan gembel banget nanti kalau bertemu si ganteng Juviar.

‘Duh, udah mau sebulan jadian, tapi masih deg-degan aja kalo mau ketemu. Padahal tadi pagi juga ketemu buat dianter.’

Sudah hampir 30 menit, dan Jupri belum juga menampakkan batang hidungnya. Rehan jadi berpikir yang tidak-tidak. Masalahnya, perjalanan dari rumah Jupri ke kampus nya hanya memakan waktu kurang dari 20 menit saja.

puk puk

“Eh! Jupri kaget!” Sebuah tepukan yang tidak terlalu keras mampir di kepala Rehan. “Hehe, kaget aja gemes kamu.” Jupri meletakkan satu kantung kresek putih dengan tulisan warna biru di meja, dan duduk di sebelah Rehan.

“Tadi mampir bentar beli jajan buat kamu—” Dia keluarkan susu rasa taro, “kamu mau makan yang mana?” tangannya sibuk memilih makanan mana yang mau dia buka terlebih dahulu. Rehan yang di tanya hanya diam. Berusaha menetralkan detak jantungnya yang tidak karuan.

‘Jupriiiiii, kenapa ganteng banget kenapa baik banget kenapa sweet banget kenapaaa'

“Sayang” hidung Rehan di jawil pelan, “malah bengong kamu. Aku bukain Pocky ya.”

“Eh.. iya. Maaf, tadi mikirin gimana kalo pak Doni ternyata hari ini ngk bisa datang.” Bohong. “Ya besok gapapa. Apa kamu coba tanya kating kamu yang dulu bimbingan sama pak Doni, kalo menghadapi pak Doni baiknya gimana. Di hubungin nya enaknya gimana.” Jupri buka bungkus lapisan ke dua Pocky nya, dia ambil satu buah lalu di arahkan ke mulut Rehan.

“Aaa..” wajah Rehan jelas langsung berubah warna. Dia malu. Jupri kenapa nge-bayi-in dia banget. “Apaan deh Ju. Malu ah ntar dilihat orang, sini aku makan sendiri.” tangannya mencoba meraih Pocky yang ada di tangan Jupri.

“Aku kasih, tapi kamu nya nggak boleh cemberut lagi” “Lah, siapa juga yang cemberut” “Ini. Kenapa ini mulut nya manyun manyun” “Engga cemberut. Nih senyum”

Dan akhirnya pak Doni benar-benar tidak datang ke kampus.

Aku mencintaimu, dan mencintaimu

Kalimat cinta penuh damba terus ia utarakan dalam hatinya. Dia, lelaki tampan yang kemolekan wajahnya tak 'kan pernah lekang oleh waktu.

Jeno genggam tangan yang terasa dingin namun hangat itu dengan penuh perasaan. Seolah yang sedang ia genggam adalah sebuah kaca setipis kertas yang mudah pecah.

Dia pandangi wajah yang masih terlihat elok walau usia sudah rakus memakannya. Aku mencintaimu

Rambutnya yang memutih, kulitnya yang pucat keriput, dan mata yang terpejam . Puspa hati nya, terbaring diam dengan hembusan nafas yang pergi meninggalkan raga yang tercinta.

Renjun, aku mencintaimu

“Jeno, sudah waktunya.”

Haruskah

Ah , rasa sesal kembali menggerogoti sanubarinya. Kenapa, apa gunanya abadi kalau rasanya tetap mati

Jeno, seorang vampir yang akhirnya bertemu kembali sang pujaan hati, Renjun. Namun kisahnya tetaplah sama, ia di tinggalkan lagi.

Dan ia lelah, lelah mengulangi kisah yang sama berulang kali dengan ia yang selalu mati bersedih.

“Jaemin—

Aku akan melakukannya.”

Di sini lah ia sekarang. Berdiri tegak di atas gunung yang tinggi, menunggu sang Bagaskara keluar dari persembunyiannya.

Perlahan, cahaya kekuningan mulai muncul. Menerpa wajah sang rupawan, dan mulai mengikis nya.

Tubuh yang tegap dan gagah itu perlahan menghilang, digantikan ribuan kelopak bunga anyelir putih, sebagai lambang kematian.

Akhirnya, sang abadi menjadi fana.

Tapi tidak untuk cintanya.

Renjun, aku mencintaimu

Uhuk uhuk

“Pelan Juju, mangkanya kalo makan minum itu hp nya di taruh dulu.”

Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan muda, menepuk nepuk punggung anak semata wayangnya.

Juviar atau Jupri atau Juju , menatap horor ponsel di tangannya sambil kembali menahan batuk, akibat tersedak air kelapa muda rasa strawberry .

“Mak..”

“Kenapa sih?”

Jupri menatap mantap ibunya, “Emak bentar lagi punya mantu.”

Seperti wejangan ekhem calon ipar ekhem , Jupri menjalankan mobilnya dengan pelan dan hati-hati. Senyuman di bibirnya tak luntur sejak meninggalkan pekarangan rumah Rehan. Sesekali ia tengok ke samping untuk melihat sumber senyumnya itu tercipta, ‘cantiknya’

“Hah?”

“Eh”

Keceplosan

Rupanya kalimat pujian itu tidak sengaja ia ucapkan dengan sedikit keras. Jupri terkekeh pelan, dia remas kemudi mobil dengan gemas.

“Kamu cakep banget deh, Rehan.” ujar Jupri pelan.

“Kamu juga”

Pegangan tangannya pada kemudi semakin mengerat, bola matanya melebar. Jupri jelas kaget. Ia berdehem, “Aku kaget, tiba-tiba kamu pake 'kamu' .”

“Hehe, pengen aja. Ngga papa?”

“Ngga papa, ngga papa banget. Kalo boleh jujur, aku lebih seneng dengernya.”

“Kenapa gitu?”

“Menurut kamu, kenapa?”

Jupri tatap mata Rehan sejenak sebelum kembali fokus kedepan. Entah, tapi, Rehan serasa tau apa maksudnya. Dan mengalihkan matanya ke luar jendela mobil dengan senyum tertahan.

———

Perjalanan ke pantai ini memakan waktu sekitar satu setengah jam lebih. Selama perjalanan, untung nya tidak ada kata canggung atau diem-dieman . Keduanya seperti paham satu sama lain, tanpa harus ada kata yang terucap untuk menjaga keadaan tetap kondusif.

“Wahh! Cantiknya” Rehan menggulung celana nya sedikit. Kemudian berjalan lebih dekat ke tengah pantai.

“Juju, sini deh.” Iya, keduanya sepakat untuk saling memanggil nama saja, Jupri bilang, ‘biar status nya keliatan agak berubah dikit, itu kalo Rehan mau sih’ , dan di setuju oleh pihak ke dua.

“Aku di sini aja deh. Kamu jangan jauh-jauh, takut di culik kerang ajaib.”

“Idih, ngga jelas.”

Rehan sibuk bermain main dengan air, dan Jupri dengan siap menjadi juru foto dadakan. Baginya, eksistensi Rehan jauh lebih penting dan menarik dari lautan di belakang nya. Dia begitu menawan, begitu bersinar, sangat indah. Entah sudah berapa kali Jupri memuji ciptaan Tuhan satu itu. Mungkin tak cukup sekali.

“Tuhan, tolong jodoh kan aku dengan Rehan. Atau jodoh kan Rehan dengan aku. Kalau bukan jodoh, masa bukan sih. Pokoknya tolong di buat jodoh ya Tuhan.” – Jupri, yang cintanya belom terbalas.

Jam telah berganti angka, Jupri dan Rehan memutuskan menyudahi acara bermain pasir di pantai, lalu memutuskan singgah di sebuah rumah makan yang masih berada di kawasan pantai, dengan sebagian besar menu yang berasal dari laut.

“Rehan mau makan apa?”

“Emm, mauuu..udang asam manis sama cumi goreng tepung aja deh, Ju. Minumnya lemon tea. Kamu apa?”

“Oke. Aku kepiting saus padang, lobster tim telur, sama kerapu tim tomyam. Aku bedain biar kamu bisa banyak icip-icip.” Setelah itu Jupri pergi untuk memesan makanannya, meninggalkan Rehan dengan pikiran, ‘ya ampun Juju pengertian bangetttttttt, tau aja gue sebenernya pengen pesen banyak tapi maloee’

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya pesanan sampai di depan mereka. Keduanya makan dengan nikmat dan tenang. Tapi, Jupri lebih fokus memperhatikan Rehan yang makan dengan lucu. Beberapa kali saus atau sisa makanan menempel di wajah Rehan. Dan akan ada Jupri yang siap sedia tisu untuk mengelapnya.

Perjalanan di lanjutkan dengan berjalan jalan melihat berbagai cinderamata atau makanan oleh-oleh yang dijual di sana. Membeli beberapa dan lanjut berjalan, lalu dengan sadar, tangan keduanya saling bertaut.

Sisa hari itu di akhiri dengan ucapan terima kasih dari Rehan untuk Jupri. Dan balasan kembali kasih dari Jupri untuk Rehan. Dengan sedikit usapan di kepala Rehan dari tangan besar Jupri, ia pamit pulang.